"Jun."
Leo berlari menghampiriku. Didekapnya aku erat-erat dan hampir kehilangan keseimbangan. Kali ini pelukannya cukup lama dan hanya bergeming. Aku paham akan semua tindakannya. Ia telah menanggung beban yang begitu berat. Yang dibutuhkannya saat ini adalah dekapan ketenangan dan sebuah wadah penampung rasa sedihnya.
Tak luput aku mengelus punggung bidangnya yang kekar dengan gerakan lembut. "It's okay. You've done your best. I'm here for you."
Kalimat singkat yang kuucapkan mampu menyatukan kembali kepingan hatinya yang patah. Semua beban di raganya tumpah ruah menjadi derai air mata yang terus mengalir--menetes hingga bajuku. Aku melepaskan pelukannya, menariknya agar aku bisa melihat wajah sedihnya.
"Tadi gimana? Lancar?" Tanyaku seraya jinjit dan mengelap air mata Leo yang masih menggenang di sudut matanya.
Leo mengangguk. Tapi, bibirnya masih membungkam. Aku menatap bola mata cokelatnya dan tersenyum.
"Terus kenapa nangis?" Tanyaku lembut.
"I just don't want to regret any decision. Sebelum aku tanda tangan mengakhiri kontrak di PRSI, coach sempat menahanku. Katanya nggak apa-apa nggak perlu terburu-buru untuk kembali. Fokus dulu sama penyembuhan bahuku. Tapi, aku ingat pesan Ayah, Bunda, dan Om Dayat. Mereka nggak bisa menjamin kesembuhan bahuku secara total." Air matanya kembali berurai. "Semua mimpi aku harus terkubur. Aku nggak berguna lagi--aku gagal, Jun.."
Aku menyanggah ucapannya sebelum Leo semakin melantur. "Leo, nggak boleh kayak gitu! You are smart, handsome, and talented. Kamu nggak pernah gagal menjadi manusia. Kamu sudah menjadi yang terbaik di umur kamu sekarang." Aku menggenggam tangannya. "Hidup ini bukan hanya sekadar tentang renang dan kompetisi. Ada banyak hal menarik di dunia ini yang belum kamu ketahui. Kamu masih bisa eksplorasi diri kamu, minat kamu, kesukaan kamu yang lainnya. Leo, aku tau ini nggak mudah. Paling tidak kamu harus bersyukur karena cedera bahu kamu bisa disembuhkan. Kamu masih bisa beraktivitas seperti biasa. Dan nggak semua orang bisa seberuntung kamu."
Leo terduduk lemas di dinding depan rumahnya.
"Dari dulu aku cuma punya satu mimpi. Jadi atlet yang dikenang sampai aku tua nanti. Jadi atlet yang mampu mengharumkan nama Indonesia di ajang Olympics dan ajang kompetisi lainnya. Renang udah jadi nadi dalam tubuhku. Tapi sekarang semua berubah. Andai aku nggak kecelakaan, andai aja aku lebih hati-hati, andai aku nggak keluar asrama kala itu, semua nggak akan terjadi kayak gini.."
Aku berjongkok berhadapan langsung dengan Leo yang di depanku. Aku memegang punggung tangannya.
"Semua udah jalannya, Leo. Nggak ada yang perlu disalahkan dan nggak perlu ada yang disesali. Hidup kamu harus terus berjalan ke depan, bukan menyesali yang ada di belakang. Yang kayak gini contohnya. Kamu jadi terus dikerumuni rasa bersalah dan penyesalan yang sebenarnya nggak ada gunanya karena sudah terjadi. Kamu boleh bersedih kapan pun. Benci dan marah pun nggak apa-apa. Tapi, ingat satu hal. You should be stronger than yesterday. Pelan-pelan aja. Kita lalui ini semua bersama sambil memulihkan cedera kamu. Dan nanti, kamu akan percaya bahwa waktu akan menyembuhkan semua lukamu."
Bola mata Leo berbinar menatapku. Ada rasa tenang dibalik pelupuk matanya ketika mendengar suaraku. Tak segan-segannya ia memelukku lagi. Pelukan yang tidak bisa dilepaskan.
"Makasih, Sayang. Kamu selalu ada buat aku. Terima kasih telah memberikanku ruang untuk berbagi. Aku sayang kamu, Jun. Sangat sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gardenia Familia [COMPLETED]
General FictionKeluarga Bulan yang terdiri dari Ayah bernama Agus, Ibu bernama Septi, Kakak bernama Januar, Adik bernama Okta, dan aku bernama Juni. Tinggal di sebuah perumahan yang bernama Cluster Gardenia. Keluarga Pak Agus adalah penghuni pertama di Cluster Ga...