16 : Satu Fakta Tersingkap

1K 260 50
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Benar, ya. Janganlah kamu mencari tahu sesuatu jika nantinya itu akan menyakitimu.

 Janganlah kamu mencari tahu sesuatu jika nantinya itu akan menyakitimu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aretha turun dari ojek, kemudian membayar ongkos kepada sang driver.

"Jangan lupa bintang lima ya, Mbak."

"Iya, Pak," jawab Aretha cepat dan langsung buru-buru berlari memasuki gedung polres. Tadi ia mendapat telepon dari Alden untuk datang ke tempat ini. Alden bikin panik dan kaget saja, ada apa sebenarnya?

"Saya punya buktinya, Pak." Alden memamerkan layar ponselnya.

Menunjukkan foto Aretha yang tengah dihimpit di tembok oleh seorang pria yang terlihat hendak melecehkannya.

"Alden?!"

Mendengar namanya dipanggil, Alden menoleh.

"Ini ada apa? Ada masalah? Kenapa kamu nyuruh aku ke sini?" Dia langsung duduk di sebelah Alden, sorot matanya penuh dengan serba keingintahuan.

"Aku ditangkap karena tuduhan penyerangan."

"Apa? Kok bisa? Kamu habis nyerang siapa?"

"Waktu kejadian di kafe itu."

"Oh, jadi kamu dilaporin sama si Yoga?" Aretha langsung cepat tanggap. "Dasar pengecut, begitu doang main lapor polisi."

Pandangan Alden beralih pada polisi yang sejak tadi menginterogasinya. "Jadi, Pak, saya sama sekali nggak bermaksud untuk memukuli dia. Dia sendiri yang berulah duluan." Ia mengajukan pembelaan. "Nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Seperti itulah perumpamaannya."

"Benar, Pak, teman saya cuma mau bantu saya yang saat itu mau dilecehkan. Kalau nggak ada dia saya nggak tahu nasib saya gimana, Pak. Saya bisa tuntut dia, Pak. Teman saya ini cuma berniat membantu. Saya korban sekaligus saksinya."

Alden melirik Aretha, memberikan kode agar mendekat. Alden membisikkan sesuatu di telinga Aretha, Aretha buru-buru menyimak dengan tampang serius, sang polisi mengernyit, turut kepo, menilik-nilik dua manusia yang tengah bisik-bisik layaknya remaja yang sedang asyik ghibah tentang temannya dengan alis bertaut.

Aretha mengangangguk-anggukan kepala mendengar setiap kata yang Alden utarakan di bagian akhir seakan itu adalah intruksi yang wajib Aretha kerjakan.

Begitu selesai, Aretha tersenyum tanda setuju, Alden kembali duduk tegak, dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

Aretha memajukan wajah. "Awalnya saya mau lupain kejadian itu, Pak. Karena saya merasa itu adalah aib saya. Tapi kalau dia malah tuntut teman saya soal tindak penyerangan, saya nggak bakal tinggal diam, bagaimanpun dia yang udah menolong saya. Bapak harus bertindak adil, jangan sampai salah tangkap orang. Saya pengin tuntut dia atas pelecehan seksual. Bapak tahu nggak? Sejak kejadian itu saya jadi trauma." Aretha mulai memasang wajah yang memancing jiwa iba orang yang melihatnya. Merapatkan bibir kemudian menarik napas. "Saya jadi takut kalau ketemu laki-laki asing. Bayangkan, Pak, saya niat datang ke kafe untuk minum dan melepas dahaga, capek pulang kerja, tapi apa yang terjadi? Pemilik kafe itu malah berusaha untuk goda saya dan akhirnya memutuskan melecehkan saya karena saya menolak untuk digoda." Ia memegang dada. "Bayangkan kalau hal itu terjadi pada anak perempuan bapak ...."

HEART BEAT √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang