19 : Berdarah

992 235 65
                                    

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Hidup ini penuh dengan kejutan. Jangankan satu tahun atau satu bulan ke depan, satu jam bahkan satu menit kemudian saja pun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi.


Sejak tadi mata Ridwan awas memerhatikan Aretha yang lebih banyak diam seperti tengah memendam sesuatu atau memikirkan banyak hal yang membuatnya merasa terganggu. Seperti sekarang, sang putri hanya mengaduk-aduk nasi goreng di piringnya.

"Kok kayak yang nggak enak gitu makannya? Nggak enak, ya? Ya udah, mau Ayah masakin yang lain?" tanya sang ayah.

"Enggak, Yah, enak, kok, kayak biasa."

"Terus kamu kenapa? Keliatan nggak bersemangat. Ada masalah? Tentang kerjaan?"

Aretha menggeleng.

"Terus soal apa? Ayah udah kenal kamu, Reth. Jangan bohong. Kalau kamu capek, kamu boleh berhenti dari pekerjaan itu."

"Bukan soal kerjaan."

"Terus apa? Alden?"

"Bukan juga."

Bagaimana Aretha tidak kepikiran, kemarin ia hampir celaka jika Alden tidak ada di sana. Allah masih melindunginya dengan kehadiran Alden yang bahkan tidak ia sangka lelaki itu akan datang. Aretha jadi bertanya-tanya bagaimana jika tidak ada Alden? Apakah hari ini ia masih hidup? Tapi sebagai makhluk Tuhan yang beriman, Aretha yakin bahwa semua itu sudah diatur. Tidak ada yang namanya kebetulan.

Yang membuat Aretha tidak mengerti, sebenci-bencinya sang ibu kepadanya, sanggupkah ia menyakiti putrinya sendiri demi melindungi putranya yang lain? Ibunyakah dalang di balik ancaman kemarin itu? Jika memang iya, Aretha sudah tidak tahu lagi bentuk hatinya sekarang. Pasti sudah hancur sehancur hancurnya.

Memang iya, pembunuhan zaman sekarang tidak akan melihat siapa dia. Orang tua dan anak bisa kapan saja saling membunuh jika akal sehat sudah tercabut dalam diri.

Dan Aretha tidak percaya kini ia sedang ada dalam posisi itu. Tapi Aretha tidak mau meyakini secara seratus persen, barangkali ada pelaku lain.

"Yah," panggil Aretha pelan, ia meletakkan sendok dan garpu di atas piring, matanya perlahan menatap serius kepada ayahnya.

"Hm?"

"Aku mau bicara hal penting sama Ayah."

"Soal apa?"

"Ibu." Gerakan sang ayah yang tengah menyendokkan nasi terhenti. Raut wajahnya berubah. Selera makannya seketika hilang.

"Yah, emang salah ya kalau aku mengharapkan kasih sayang dari Ibu meski Ibu sama ayah udah berpisah? Apakah aku pantas dapat efek dari perceraian kalian? Bukannya aku mau serakah, tapi aku juga pengen ngerasain sedikit aja kasih sayang dari Ibu. Sedikit aja nggak boleh, ya? Apa hal itu bikin Ibu berdosa? Aku nggak minta apa-apa. Minimal kalah ketemu dia senyum sama aku, tanya kabar aku ...."

"Kenapa Ibu nggak pernah mau terima aku sebagai anaknya? Kenapa dia sebegitu nggak sukanya sama aku? Aku salah apa?"

"Ada apa, Reth? Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal itu? Bukannya Ibu kamu sejak dulu memang begitu?"

"Akhir-akhir ini aku udah sering ketemu Ibu, tapi Ibu tetap bersikap dingin. Aku pikir setelah aku kembali dan sekarang aku udah bisa kerja sebagai reporter, Ibu bakalan bangga, atau minimal, sedikit aja dia lirik aku, tapi tetap hasilnya sama. Ibu semakin dingin sama aku. Aku udah berusaha jadi anak yang baik, tapi Ibu nggak mau liat perjuangan aku. Aku harus kayak gimana supaya Ibu mau sayang sama aku?"

HEART BEAT √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang