TIGA PULUH

695 96 140
                                    

Bandung

Melewati satu semester menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran adalah satu perjuangan yang luar biasa. Meskipun bersusah payah, tapi Chika berhasil melewatinya dengan baik. Ia juga mendapatkan nilai yang cukup memuaskan dan membuat kedua orang tuanya bangga. Fase-fase ujian kemarin sungguh menjadi waktu yang paling berat bagi Chika, fokusnya juga terbagi dengan hubungannya bersama Mirza yang semakin hari semakin rumit. Chika lebih banyak mencari kabar Mirza, sementara Mirza lebih banyak menghilang. Pada kondisi seperti ini, akhirnya akan ada seseorang yang merasa ia berjuang sendirian dan kali ini Chika yang sedang merasa berjuang sendirian.

Kembali pada prioritas, Chika akhirnya memilih untuk fokus pada kuliahnya. Ia tak ingin pada akhirnya keduanya harus dikorbankan begitu saja. Ia tak ingin membuat kedua orang tuanya kecewa jika ia tak bersungguh-sungguh menjalani pendidikannya.

"Hai,sorry ya telat jemputnya tadi agak macet"

"Iya gapapa, Kak. Langsung pergi aja kali ya?"

"Boleh, pamit dulu aja gih"

"Mamiiiii, Piiiii, Chika pergi dulu ya"

Aya dan Boby yang sedang duduk di meja makan terlihat bingung ketika Chika pamit pergi bersama Vio. Boby dan Aya saling berpandangan, mereka mulai bertanya-tanya tentang hubungan Chika dengan Mirza.

"Chika sebentar sini dulu" Aya langsung bangkit dan menarik tangan Chika, ia masih ingat janjinya pada Mirza untuk menjaga Chika.

"Kenapa Mi?"

"Kamu kok pergi sama Vio berduaan? Kamu punya pacar loh Chik, jangan kaya gitu"

"Apa sih Mi orang aku cuma mau lari pagi, suntuk aku tuh"

"Ya kan kalau mau olah raga bisa sama Mami atau Papi, bisa ajak Kity juga"

"Iya nanti deh ya next, Chika pergi dulu ya ga enak udah ditungguin"

"Chika"

"Lari doang Mi"

Chika sepertinya sudah lelah untuk berdebat, setelah pamit ia memilih untuk langsung pergi meninggalkan rumahnya. Setelah bertahun-tahun bertahan dalam LDR dan berusaha untuk menjaga jarak dengan laki-laki lain, kali ini sepertinya Chika mulai goyah. Ia lelah menanti Mirza sepanjang waktu, sementara Mirza sendiri tak pernah ada waktu. Ia lelah merasa khawatir sendirian sementara Mirza tak pernah memberikan kabar yang jelas padanya. Pada akhirnya, di titik ini Chika benar-benar lelah.

"Udah sarapan Chik?"

"Belum, lari dulu aja lah baru makan. Nih gue bawa fitbar kok buat ganjel"

"Ok deh, malem habis telponan langsung tidur kan?"

"Iya langsung tidur kok, lu jadi keluar Kak?"

"Engga, ketiduran juga hahaha"

"Lah dasar hahaha"

Vio menoleh ke arah Chika, ia tersenyum lega saat melihat Chika kembali bisa tertawa setelah murung dalam waktu yang lama. Di posisinya saat ini, Vio entah harus bahagia atau ikut bersedih atas apa yang sedang dialami Chika. Rasanya terlalu jahat jika ia harus bahagia saat Chika bermasalah dalam hubungannya. Tapi ia juga tak bisa naif, jika ia bersyukur akan adanya momen seperti ini yang membuat ia berkesempatan dekat dengan Chika.

Mata Chika kini nampak lelah, menggelap disekililingnya seperti sisa lumpur di pinggir selokan pasca hujan. Satu per satu kisah mulai ia ceritakan pada lelaki yang duduk di sampingnya, seringkali berujung pada pembenaran sesaat dan diakhiri dengan mengukutuki keadaan. Tidak ada yang bisa Vio lakukan selain mengiayakan ucapan Chika. Pada pojok-pojok kuliner, pada tempat yang tak sengaja Chika pernah singgahi untuk berteduh, pada semua detail lokasi ia bersumpah bahwa ia akan kembali kunjungi. Bukan soal menghidupkan memori, melainkan pembangkangan kecil yang bisa ia lakukan untuk menyatakan bahwa ia baik-baik saja. "lihat saja." Ucap Chika asal.

After RainWhere stories live. Discover now