EMPAT PULUH DELAPAN

674 96 84
                                    

Jakarta

Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam dan Mirza masih terbangun, ia masih duduk di kursi dan menghadap meja kerja yang ada di kamar hotel. Matanya menatap lamat-lamat layar laptopn yang tersimpan di atas meja, entah dorongan apa yang membuat Mirza kembali membuka file yang sudah lama tak pernah ia buka sama sekali. Dari file tersebut, Mirza kembali menemukan kumpulan foto-foto saat ia bersama dengan Chika, juga beberapa video saat dirinya bersama dengan cinta pertamanya itu. Sesekali Mirza menghela nafas ketika ia kembali teringat masa-masa ia bersama dengan Chika, masa-masa yang begitu menyenangkan meskipun kini akan terasa menyakitkan saat dikenang. Mirza tak bisa memungkiri, jika cinta pertamanya benar-benar sulit untuk ia singkirkan dari ingatannya. Bahkan jika harus jujur, seandainya saja saat itu Chika tak datang ke Bandara bersama Vio, mungkin saja Mirza akan memaafkan Chika dan kembali membuka kesempatan agar mereka bisa kembali bersama. Tapi kenyataannya, harapannya tak bisa terwujud saat Chika menemuinya dengan ditemani lelaki itu.

Mirza tak pernah menyangka bahwa menyap Chika adalah hal yang kemudian menjadi paling sulit dilakukan. Padahal saling menyapa pernah menjadi rebutan tentang siapa yang lebih dulu melakukan, kini mereka harus diam-diam sebab keduanya berada pada keadaan yang serba salah karena sesal yang terpendam.

Mirza POV

Chika, aku pikir hanya jatuh cinta yang bisa membuatku berlagak dungu setiap menatap matamu. Nyatanya, rasa bimbang mengutukku menjadi seonggok daging hidup yang tidak berguna sama sekali. Mungkin dulu, aku berjalan pelan-pelan ke depan meninggalkanmu yang terseok di belakang. Barangkali kau benar, waktu adalah obat yang paling mujarab dari rasa hina, ia mengubah sakit yang luar biasa menjadi hal yang akan aku tertawakan. Namun, kau lupa satu hal bahwa kenangan menyisakan asam di dinding tenggorok dan tanpa aba-aba selalu memunculkan gatal.

Chika, barangkali kita pernah bersama dalam tawa sampai mata kita tertutup rapat, mengilhami setiap udara yang masuk ke dalam rongga-rongga. Mataku masih menyimpan senyum manis yang tersimpul dari bibir tipismu atau senyum menyeringaimu yang menyebalkan. Ketajaman penciumanku masih mengingat wangi rambut hingga parfum yang kau gunakan. Kau masih saja sama, tidak peduli seberapa berantakan keadaan saat itu senyummu masih bisa tetap terlihat. Mungkin saat ini, kau menganggapku sebagai bagian dari formalitas hidupmu bahwa kita pernah saling mencintai lalu berakhir dan  berjalan sendiri-sendiri. Aku tahu, kau selali berusaha terlihat baik-baik saja. Tapi kau lupa, sorot matamu tak pernah bisa menyembunyikan luka dirimu sendiri.

Kini aku hanya mampu menatapmu diam-diam. Melakukan hal-hal pretensius sederhana, memalingkan muka, berpura-pura tak peduli, dan membuat keadaan menjadi biasa sebagaimana rupa. Aku tidak pernah menyangka bahwa perpisahan adalah rasa pahit paling tengik di pangkal lidah. Yang aku tahu, memilikimu tidak sesederhana itu, lebih kompleks dari mengerjakan algoritma.

Semesta memeranjatkanku pada jarak yang semakin membesar. Kita sama-sama menjaga jarak, sementara perasaan kita mungkin terus tumbuh dan menghadirkan luka seolah memberi pesan bahwa merencanakan kebahagiaan bersamamu sama saja seperti menggulingkan tahta seorang Ratu di Inggris.

Tangan Mirza terhenti saat mengetik titik dalam tulisan singkatnya, dadanya kini terasa sesak seperti menderita asma. Kalimat-kalimat yang ia tuliskan kembali membuatnya terenung, suasana di kamar itu benar-benar hening, tak ada suara apapun kecuali suara AC yang itupun terdengar sangat pelan. Dengan wajahnya yang terlihat lelah, ia melepaskan kacamata yang ia kenakan dan menyimpannya di atas meja. Pembuluh darah tampak tegang di lehernya, ia sudah pasti sedang menahan berbagai emosi yang dirasakannya saat ini. 

"Oh shit" ucap Mirza ketika sadar ia tak mampu lagi membendung air matanya, tangannya terlihat menekan pelan kedua matanya yang mulai dibanjiri air mata. Kini ia bersyukur karena keputusannya untuk menerima ajakan Kevin menginap di hotel sehingga Kathrin tak akan melihat kekasihnya terlihat bodoh seperti ini.

After RainWhere stories live. Discover now