🌸 Happy Reading 🌸
06.30 PM.
dr. Michael menurunkan kaki keluar dari mobil yang ia parkirkan di sisi taman. Walaupun hujan sudah tinggal gerimis kecil, namun ia tetap memakai payungnya untuk melindungi kepala dari titik air hujan. Dengan lapisan mantel panjang yang menutup sampai lutut, ia berjalan menuju kafe yang disebutkan Vin dalam pesannya. Di depannya kini terlihat satu bangunan yang terang benderang diantara pepohonan dan bunga cantik.
Di salah satu kursi kayu berwarna putih, terlihat Vin yang masih duduk seorang diri sambil menatap bunga Alamanda kuning.
dr. Michael menutup payung setelah berada di dekat dokter muda yang sedang melamun.
“Aku heran kenapa aku bisa memenuhi undanganmu makan disini, apalagi sambil melihat wajah depresimu,” dr. Michael menarik kursi di depan Vin.
Vin melirik sekilas lantas menarik nafas panjang. Sedetik kemudian ia bangkit sambil berkata.
“Kita duduk di dalam,” ia melangkah mendahului.
“Eh,” dr. Michael menoleh dengan ekspresi bingung, sedikit kesal dan prihatin.
“Dia benar-benar sudah tidak tertolong,” desisnya gusar sambil bangkit dan membawa payungnya, menyusul Vin yang kini menempati meja di sudut ruangan.
Samar menggeleng, ia menghempaskan pantat di kursi seberang Vin.
“Sebenarnya ada apa denganmu? Aku ingatkan, konsultasi di luar jadwal apalagi di tempat umum, bayarannya lebih mahal,” ia setengah menggerutu mengingat dirinya sengaja datang karena pesan yang ia terima tadi sore.
Sebenarnya ia berniat pulang waktu ponselnya berbunyi dan chat dari Vin masuk, memintanya untuk menemani makan malam di kafe taman Hangzhou. Meskipun cuaca sedikit tidak bersahabat, namun akhirnya ia memilih memenuhi keinginan Vin karena ia tahu kondisinya saat ini. Dia hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada temannya.
Dan benar saja.
Dia kini melihat keadaan Vin yang tidak diduga. Wajahnya dirundung kesedihan dan tidak bersemangat.
“Setelah menghilang sekian hari, kau tetap belum bisa menerima kenyataan,” kepalanya kembali menggeleng.
Vin menopang kepala dengan telapak tangan, sikutnya ia tumpukan pada permukaan meja.
“Ayolah, Michael. Apa kau tidak bersimpati padaku? Aku sudah berjuang memberikan wajah bahagia dan senyuman di depan Xiao Zhan,” ia mulai mengeluarkan keluhannya.
“Jadi sekarang aku yang kebagian wajah depresi dan tidak bahagiamu? Sungguh malang nasib jadi dokter psikiater,” dr. Michael melambai pada pelayan dan memesan makan serta minum. “Kau mau makan apa?” ia melirik Vin yang tidak mengubah posisi.
“Apa saja..”
Gelengan kepala dr. Michael sudah tak terhitung semenjak ia tiba di kafe tersebut. Dia pun memesan sesuai pengetahuannya tentang kesukaan Vin. Setelah pelayan itu meninggalkan meja mereka, ia kembali mengamati perilaku temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝓝𝓮𝓿𝓮𝓻 𝓢𝓪𝔂 𝓛𝓸𝓿𝓮 [𝐄𝐧𝐝]
RomanceSeorang wartawan tampan, kameranya secara tidak sengaja menangkap satu sosok yang berwajah seperti malaikat - itu menurutnya. Ia merasa keputusannya untuk datang ke taman Danau Barat menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Sejak saat itu, dia seakan te...