[30]: Penyesalan

2.9K 215 14
                                    

"Kapan lo mau berenti bikin gue khawatir?" Nathan mengusap lembut jemari Tyara.

Lama ia memandangi gadisnya, teman kecilnya, sahabatnya sekaligus peri di kehidupannya.

"Lo tau, kan, kalau gue sayang sama lo?"

Jemarinya berlari untuk merapihkan anak rambut Tyara yang berantakan. Nathan sangat-samgat merindukan binar dan tawa bahagia Tyara.

Dengan lembut ia mengusap pipi Tyara dengan ujung jarinya, seolah-olah takut menyakiti gadis yang sedang menikmati istrahatnya dari semua masalah.

"Gue inget, dulu lo pernah bilang, bagi lo gue itu peri cinta lo,"* Nathan tersenyum sejenak. "Kalau gitu, izinin gue buat jadi sayap pelindung lo."

Namun setelahnya Nathan terkekeh geli. Hanya di hadapan Tyara ia dapat bertingkah konyol seperti ini. Menjadi sok puitis dan sok romantis.

"Sekarang udah jam sebelas lewat sepuluh, Ty. Dulu lo selalu ngingetin gue kan buat make a wish?"

Diamnya Tyara dianggap 'Ya' oleh Nathan.

"Tapi, kalau Tuhan kita aja beda, cara berdoa kita aja beda, apa harapan kita bakal terkabul?" Jeda sejenak. "Apa lo dan gue bias bersatu?"

Kekehan sinis dari bibir Nathan menyuarakan kepedihan yang sebenarnya.

"Semuanya masih kesimpen disini," Nathan menunjuk hatinya, menganggap Tyara melihatnya dan mendengar semua kata-katanya.

"Gue sayang sama lo, Ty," setetes air mata Tyara menetes, seolah-olah gadis itu merasakan kepiluan Nathan. "Sayang."

Nathan ingin menertawakan dirinya yang galau hanya karena sosok Tyara. Hanya karena gadis yang menjadi alasannya hidup dan mengejar mimpinya beberapa tahun lalu.

"Cepet bangun," Nathan kembali menggenggam jemari Tyara dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di keningnya.

Entah berapa lama Nathan memandangi Tyara yang tertidur pulas seperti ini dengan bantuan alat-alat.

Memandangi Tyara yang memejamkan matanya dengan tenang.

Memandangi wajah Tyara yang seperti anak kecil.

Setelahnya Nathan menatap alat kardioraf dan Tyara secara bergantian, seolah-olah takut gadis itu akan meninggalkannya begitu saja.

"Kadang gue berfikir, kalau cerita kita nggak adil. Menurut lo ini adil nggak?" Nathan kembali bersuara dalam hening.

Begitu larutnya Nathan dalam pikirannya hingga tidak menyadari bahwa Aldo membenci saat melihat jemari gadisnya digenggam oleh Nathan.

Tapi seulas senyum kaku terbit di wajah Aldo, seharusnya ia sadar bahwa sejak dulu selalu ada peranan Nathan di hidup gadis itu, selalu ada tempat untuk Nathan di hati gadisnya.

Dan seberapa sering pun Tyara mengatakan yang sebaliknya, hal tersebut terlalu nyata untuk disadari, bahkan oleh orang yang awam tentang mereka sekalipun.

Cinta dan saying mereka terlalu besar, begitu pula penghalang mereka yang sangat tinggi.

Perlahan Aldo beranjak pergi. Meruntuki betapa bodoh dirinya yang menyia-nyiakan kesempatan pertama hanya untuk mengemis kesempatan kedua.

Bukankah sudah jelas, jika ia pergi meninggalkan Tyara gadis itu akan bersama pria yang mampu menjaganya sepenuh hati. Dan tentu saja jauh lebih baik darinya.

Kini, ia hanya dapat berharap dapat memutar waktu, bukan?

Bodoh!

--

Barata menatap Tyara sedih. Baru saja putrinya terbebas dari peralatan penunjang hidupnya, kini gadis itu harus kembali terbaring lemah.

Nathalia datang dan menyentuh lengannya lembut, seolah memberikan kekuatan untuk Barata.

"Kadang saya menyesal, ingin rasanya mendampingi Tyara hingga ia dewasa. Melihat ia tumbuh." Suara Barata parau.

"Penyesalan nggak berarti lagi sekarang, yang terpenting dia tau kalau kamu selalu sayang dia."

Barata menatap Nathalia, "Apapun akan saya lakukan untuk membuatnya tersenyum kembali. Untuk menebus waktu yang sempat terbuang."

Remasan lembut dari Nathalia membuat pertahanan Barata luruh.

"Saya menyakiti dia."

"Barata," potong Nathalia lembut. "Masa lalu dia membawa dia menjadi sosok yang lebih baik, sosok yang lebih dewasa."

Dengan lembut ditatapnya kedua manik Barata. "Saya yakin Tyara akan setuju, bahwa dia tidak pernah membenci kamu."

Diam dan keheningan menyelimuti keduanya.

"Apa kau juga merasakan sakit dan luka ketika saya pergi?" Barata mencoba membuka percakapan.

Sesaat Nathalia menegang, namun setelahnya ia mencoba rileks kembali walaupun wajahnya masih memucat.

"Yang terpenting adalah saat ini kamu ada menemaniku mendampingi Tyara. Bukan tentang luka."

Barata terdiam saat mendengar jawaban dari mantan istrinya tersebut.

"Ka-"

"Nata," panggil Barata serak.

"Maafkan saya, apa bias kita ulang kembali selama mendampingi Tyara?"

Nathalia menatap Barata ragu, apakah hal ini akan baik untuk hatinya?

Rian menatap keduanya dengan pilu, bukan hanya Tyara yang memiliki elegi di kehidupannya. Bahkan kedua orang tuanya pun masih terus menyanyikan elegi tersebut hingga saat ini.

Seolah tersadar Rian pergi meninggalkan keduanya yang sedang saling menatap dan suasana canggung yang menyelimuti keduanya.

Rian hanya berharap mereka dapat menemukan kebahagiaan mereka. Apapun caranya.

Barata menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa telah mengucapkan hal yang salah. Sedang Nathalia hanya menunduk kikuk.

"Bagaimana hasil pemeriksaan dokter?"

Barata mencoba mengalihkan pembicaraan mereka yang mulai terasa canggung.

Nathalia mengangkat wajahnya untuk menatap Barata lansung. Ia menggeleng perlahan setelahnya.

"Enggak ada jalan keluar selain transplatasi hati."

*Baca Extra Part 11:11

=====

a/n

Gue lagi banyak bgt masalah yg bikin konsentrasi gue pecah. Jadi gue mohon maaf sebesar-besarnya.

Ohiya, kalian ngeship Tyara sama siapa sih?

ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang