[7]: Gula Kapas

4.3K 347 2
                                    

Chapter ini dipersembahin buat kak Naqy, me lafyu kak!

==========

Qyana menoleh ke arah Tyara dan Aldo. Pancaran senyumnya terlihat jelas dan tulus.

"Lho, kok Aldo sama Rara bisa disini sih? Barengan lagi," Qyana menghampiri Tyara dan Aldo.

Aldo menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sedangkan Tyara bingung bagaimana cara menjelaskannya. Dia sendiri bingung apa hubungan Qyana dan Aldo sebenarnya.

"Iya kita udah lumayan deket gitu, Kak, terus jalan kesini, hehe." Tyara yakin dia terlihat canggung dan salah tingkah saat ini, "Kakak sendiri sama siapa kak? Sendiri?"

"Aku sendiri, lagi pengen banget gulali, makanya cabut kesini."

Qyana mengedarkan pandangannya dan menatap Aldo dengan seksama.

"Apa kabar, Do? Masih sibuk sama kerjaan?"

Mendengar pertanyaan Qyana, Aldo hanya menggumam tidak jelas.

Namun setelahnya obrolan mereka mengalir lancar, hingga Tyara merasa dirinya tidak akan bisa masuk di lingkaran pembicaraan mereka.

Perlahan, Tyara berjalan mundur dan meninggalkan dua manusia yang asik berbicara.

Tyara berjalan menuju penjual gula kapas. Makanan faforitnya saat ia merasa sedih.

"Bang, gula kapas satu ya," pinta Tyara pada penjual gula kapas tersebut.

"Boleh, Neng. Mau warna apa?"

"Aku minta pink sama biru ya."

Tyara duduk di bangku taman yang berada di samping penjual gula kapas.

"Hai."

Tyara menoleh ke asal suara dan menemukan seorang wanita yang anggun sedang tersenyum kepadanya. Senyuman manisnya memancarkan kebaikan hatinya.

Entah mengapa, senyum wanita itu menghangatkan hati Tyara dan membuatnya tersenyum manis.

"Kamu suka gula kapas ya?" Tanya wanita itu. Suaranya lembut dan halus namun sedikit serak.

"Iya, aku suka banget. Udah itu suasananya lagi mendukung banget." Tyara mengucapkannya sambil menatap awan-awan kelabu di langit.

"Mirip sama awan, dan warna awannya sewarna sama hati kamu," ucap wanita itu lirih.

Sekali sentakkan Tyara menoleh dan memasang wajah terkejut.

"Aku bukan cenayang, Tyara. Tapi raut wajahmu menunjukkan semuanya."

Ucapan wanita itu membuat Tyara semakin mengerutkan keningnya dalam.

"Aku tau nama kamu, siapa yang nggak kenal seorang Natyara?"

Tyara hanya diam. Sebagai seorang psikolog dia sudah berusaha untuk menetralkan wajahnya dan membaca pikiran seseorang dari gerak dan mimik mereka.

Namun mengapa ia tidak bisa membaca wanita itu? Dan malah wanita itu yang membaca pikirannya.

"Kamu pasti romantis dan setia," wanita itu mulai membuka percakapan kembali. Membuat Tyara kembali ke alam sadarnya.

Diamnya Tyara diartikan sebagai 'tanda' lanjut oleh wanita misterius tersebut.

"Gula kapas adalah awan manis yang dapat kita makan. Apa kamu tau kalau awan adalah hal paling setia?"

Tyara menggeleng perlahan, secara refleks.

"Awan selalu datang lebih awal dari hujan, menemani hujan ketika dia membasahi bumi, dan tetap setia di langit walaupun hujan telah pergi.

"Awan rela membiarkan hujan berjatuhan untuk membasahi tanah yang retak. Ia merelakan pasangannya untuk melengkapi yang lain. Karena awan tahu, tanah itu lebih membutuhkan hujan untuk melahirkan setangkai bunga yang sangat indah. Meski ia menyadarinya, bahwa ia akan kesepian pada akhirnya."

Dengan seksama Tyara mendengarkan penjelasan filosofi awan dari wanita misterius yang tidak mau menyebutkan namanya.

"Kamu adalah awan, tapi berjanjilah kamu takkan membenci hujan dan tanah karena menghasilkan bunga yang indah."

Kalimat yang diutarakan oleh wanita misterius selanjutnya membuat Tyara mengerutkan keningnya lebih dalam. Dia tidak mampu mengartikan makna dari ucapannya.

"Sebentar, kamu belom kasih tau aku nama kamu siapa, dan maksud kalimat terakhir kamu itu apa." Tyara menatap wanita itu dalam-dalam.

"Namaku tidak penting, Tyara. Tapi kata-kataku, aku harap kau tidak melupakannya."

Setelahnya wanita itu berjalan pergi meninggalkan Tyara, seiring dengan gerimis yang mulai turun membasahi permukaan tanah.

"Neng, ini gula kapasnya," ucap penjual gula kapas.

Tyara tersenyum dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan.

"Makasih ya, Bang!"

Tyara berjalan menembus gerimis, dia sangat menyukai gerimis, berada di bawah gerimis membuatny merasa bahagia.

Tanpa memperhatikan jalan, Tyara asik memakan gula kapasnya.

"Saya nyariin kamu, Tyara."

Suara dingin dan gusar tersebut menghentikan langkah Tyara. Dia mendongak dan menemukan Aldo sudah berdiri di hadapannya.

"Aku bukan anak-anak, Aldo. Dan kamu bukan siapa-siapa aku," Tyara menatap Aldo dengan dalam.

"Tapi jangan main kabur. Kamu tanggung jawab saya saat ini."

"Kamu tuh ngomong apa sih, Do?!" Nada bicara Tyara mulai meninggi, tanda dia merasa tertekan dengan pembicaraan ini.

"Kamu pergi dengan saya, berarti kamu tanggung jawab saya. Suka tidak suka, kemana pun itu kamu harus dengan saya. Dan ninggalin orang tanpa permisi itu nggak sopan."

"Sejak kapan kamu jadi sopan, Do?"

Nada sarkastik milik Tyara menyulut ego Aldo.

"Kamu kenapa deh, makin aneh aja. Kita baru kenal, Tyara. Nggak usah sok tau tentang saya!"

Kata-kata Aldo menusuk Tyara. Ternyata Aldo benar-benar tidak mengingatnya, dan dirinya memang sangat mudah untuk dilupakan.

Setelah menatap Aldo dengan tajam, Tyara berbalik dan berjalan pergi. Tidak memperdulikan gerimis yang mulai berubah menjadi hujan.

Sedangkan Aldo, dia berdiri memandangi Tyara yang mulai menghilang dari pandangannya. Secuil rasa bersalah menghinggapi dirinya. Tapi dirinya terlalu angkuh untuk meminta maaf.

Biarkanlah dia berharap hujan menyampaikan permintaan maafnya untuk Tyara.

==========

a/n

Sorry ya part ini pendek banget, atau kalian ngerasa nggak jelas. Ini cuma semacem part buat penghubung sama part lainnya. Biar kalian nggak bingung.

ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang