Aldo, aku butuh kamu.
Aldo diam, sesuatu di hatinya bergejolak. Dia sangat ingin menemui Tyara, namun pesan yang dikirimkan oleh Rara membuatnya ragu.
Tanpa berfikir dua kali, Aldo memutar arah mobilnya menuju rumah Rara. Mungkin hari ini mereka bisa pergi makan siang bersama, menghabiskan waktu seperti waktu-waktu lain.
Seperti biasa, Rara telah menunggu Aldo di teras rumahnya sambil tersenyum, seolah-olah tahu kalau Aldo akan selalu datang kepadanya.
"Hai!" Sapa Rara ceria, tapi ada yang lain dalam senyum dan tatapan Rara.
"Ada apa lagi, Ra?"
Rara diam menerawang.
"Aku mau cerita," lirih Rara.
Aldo diam, tanda dia akan mendengarkan semua cerita Rara hingga selesai.
"Papi milih gadisnya yang lain," buka Rara perlahan, seakan-akan belum siap mengorek luka lamanya.
Tatapan lembut Aldo meyakinkan Rara untuk melanjutkan ceritanya.
"Dia dapet telepon, mungkin dari mantan istrinya, tepat sebelum aku sama Papi makan siang untuk nebus permintaan maaf Papi karena selalu pulang larut. Tapi, seudah dia nerima telepon itu Papi diem, nggak ngubris aku sampe aku panggil berkali-kali buat makan siang.
"Tapi dia bilang dia harus batalin acara makan ini, karena..."
Ucapan Rara selanjutnya tidak memasuki pikiran Aldo, entah mengapa ia sangat merindukan Tyara, sangat ingin melihat gadisnya itu.
Ada sesuatu yang terjadi pada Tyara, Aldo yakin itu. Ada sesuatu yang buruk yang menimpa Tyara.
Tapi, kalau ia memutuskan untuk menemui Tyara kembali, ia akan menyakiti gadis rapuh yang sedang bersamanya saat ini.
"Renaldo!"
"Kenapa, Ty?"
Aldo menjawabnya refleks. Namun beberapa saat kemudian ia tersentak dan menemukan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah muram Rara.
Tidak ada sepatah kata pun yang Rara ucapkan, tapi tetes air bening yang keluar dari matanya telah menjelaskan betapa hatinya sakit.
"Kenapa semua orang lebih mentingin Tyara? Nggak kamu, nggak Qyana, bahkan Papi!"
Aldo terlonjak mendengar dua kata terakhir yang diucapkan Rara.
"Sekarang pergi dari sini!" Rara berjalan ke arah pagar dan membukakannya untuk Aldo.
"Sekarang!" Jerit Rara tertahan. Hatinya sakit melihat tatapan terkejut Aldo, tapi lebih ia lebih sakit lagi karena perjuangannya selalu dianggap sia-sia.
Ini bukan soal salah sebut nama, tapi siapa yang dia sebut.
Rara menatap Aldo nanar. "Aku benci sama kamu, Do!" Tapi tidak ada kebencian di dalam suaranya, hanya kegetiran yang nyata.
Sebelum Aldo masuk ke dalam mobilnya, Rara mengatakan kalimat yang membuat Aldo membeku setelahnya.
"Aku nyelakain Tyara."
Tapi Rara tidak lagi peduli pada tanggapan Aldo, dia menutup pagar dan berlari memasuki rumah.
Rara terjatuh tepat setelah menutup pintu.
Roboh hanya karena satu nama yang sudah menjadi hantu di dalam hidupnya selama ini.
Natyara.
---
Barata mengetuk pintu kamar perawatan Tyara sebelum memasuki ruangan tersebut.
"Papa!" Sambut Tyara senang saat melihat sosok yang sangat ia ridukan.
"Hai, sayang. Kok kamu tambah kecil, sih?" Barata terkekeh setelahnya.
"Papa juga makin kurus!" Sembur Tyara langsung.
Barata nenatap gadisnya sedih, "Papa denger kamu nggak mau makan, kenapa?"
Tyara tercenung.
"Pa, aku rasa aku udah cukup umur. Kenapa Papa sama Mama pisah?"
Tyara tidak menjawab pertanyaan Barata, mengalihkan topik pembicaraan.
Kini Barata yang gantian terdiam.
"Persoalannya sulit, Nak." Lirih Barata.
"Aku punya banyak waktu buat dengerin semuanya," timpal Tyara.
Hening yang menjawab permintaan Tyara.
"Dia nggak bisa jelasin semuanya tanpa aku," suara gadis lain membuat Tyara menoleh ke arah pintu.
Kerutan di kening Tyara menunjukkan keterkejutan yang jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegy
ChickLitNatyara dan Renaldo mencintai kopi. Namun elegi dan kopi selalu menjadi hal yang berdampingan, dimana ada hal yang menyakitkan selalu ada hal yang pahit. Ketika mereka sadar akan perasaan mereka, mungkinkah rasa cinta mereka sama seperti kecintaan...