Krek.
Pintu ruangan Aldo terbuka.
"Do, jadi makan malem?" Kepala Nathan menyembul dari celah pintu.
Aldo segera mematikan laptopnya dan merapihkan mejanya. Malam ini ia ada janji makan bersama dengan Faris, Faiz, Rian, Nathalia, Barata, Rara, dan Nathan pastinya. Hari ini tepat tiga tahun Tyara meninggalkan mereka semua, meninggalkan luka mendalam dan kehilangan.
Nathan menatap Aldo.
"Lo oke?"
Aldo memaksakan seulas senyum, namun Nathan langsung mengetahuinya.
"Ajak Qyana aja, Do." Saran Nathan. "Kita semua bawa pasangan kita, lo nggak usah nutup-nutupin lagi dari mereka."
"Tyara pasti sedih, Rian pasti marah, Tante Nana pasti kecewa," tuturnya lirih.
Nathan berjalan menghampiri Aldo yang masih duduk di kursinya. Ia menarik kursi yang ada di hadapan Aldo dan menatapnya serius.
"Itu udah lama. Gue rasa Rian juga udah nggak masalahin itu."
Tapi Nathan masih dapat merasakan keraguan di diri teman baiknya tersebut.
"Tyara selalu mau lo bahagia setelah dia pergi, Rian selalu mau lo ngenang Tyara, bukan nggak boleh berpaling, dan Tante Nana selalu mau lo ngelanjutin hidup. Mereka bakal bahagia kalau lo bisa lanjutin hidup setelah Tyara. Mereka nggak mau lo terus terpuruk."
Aldo mempertimbangkan ucapan Nathan.
"Lagipula, kita semua tau kok seberapa keras lo coba berdiri setelah kepergian Tyara, bahkan gue tau seberapa susah lo sama cewek lain sebelum akhirnya Qyana dateng lagi ke hidup lo. Qyana yang selalu jadi pelarian lo dari Tyara." Nathan menatap Aldo yang sedang ragu.
Setelah yakin, Aldo merarih telepon genggamnya dan menelpon satu nomor. Nathan menepuk pundak Aldo sebelum keluar dari ruangan tersebut.
"Halo."
---
Semua yang hadir malam ini berdoa untuk satu nama yang telah dipeluk bumi, seseorang yang telah tidur lelap dalam pangkuan Sang Ilahi.
Tidak ada lagi tetes air mata, tidak ada lagi rasa perih, semua tulus mendoakan dia tanpa meminta ia kembali ke pelukan mereka.
Hidup setelahnya memang sulit, tapi mereka selalu menguatkan satu sama lain.
Tersenyum setelahnya bukan hal mudah, karena senyum khasnya selalu teringat.
Tapi semua saling mengingatkan bahwa ia selalu ingin mereka melanjutkan hidup walau tidak akan bisa seperti sebelum mereka kehilangannya.
Aldo berjalan keluar dari kumpulan itu dan menuju kamar tidur Tyara, kamar yang masih lengkap dengan semua barang Tyara. Tyara dibiarkan tetap hidup bersama mereka. Kenangannya dibiarkan tetap menemani mereka.
Ia duduk termangu di ranjang Tyara. Ranjang yang menjadi saksi kisah hidup seorang Tyara yang menjadikannya sosok yang berarti.
Banyak foto yang ditempel di salah satu dinding, Aldo tersenyum karena salah satu foto yang mengabadikan momen antara ia dan Tyara saat mereka masih lugu. Saat mereka pikir mereka mengerti cinta namun kenyataan mereka hanya menerka.
Matanya terpaku pada foto terakhir, foto ia dan Tyara saat gadis itu keluar dari rumas sakit.
Aldo kembali menghela nafas.
Rasanya berat mengingat gadis itu telah pergi meninggalkanya.
Ia sadar, sampai kapanpun ia tidak akan pernah melupakan bau rumah sakit yang kini ia benci, ia tidak akan pernah melupakan bunyi lengkingan alat kardiograf.
Dan sampai kapanpun ia akan membenci ambulans.
Tyara tertidur lelap malam itu, membuat Aldo yakin bahwa ia akan melihat kedua bola mata Tyara terbuka indah untuknya. Aldo meyakinkan dirinya bahwa Tyara akan berhasil melewati operasi itu.
Tapi semua keyakinannya pupus ketika ia harus terbangun ketika alat itu berbunyi, menunjukkan garis lurus, membuat Aldo berharap terbangun dari mimpi buruknya.
Banyak perawat dan seorang dokter masuk ke ruangan Tyara, Aldo sendiri tidak sadar apa yang terjadi ketika ia ditarik oleh Rian. Aldo lupa cara untuk bernafas, dan ia lupa cara untuk berdiri tegap.
Di dalam Tyara sedang berjuang antara hidup dan matinya, begitu pula para perawat yang sedang berusaha memacu kembali detak jantung Tyara.
Pandangan Aldo lurus menatap ruangan yang telah tertutup, tidak ada ekspresi yang Aldo keluarkan, karena ia bahkan tidak tahu rasanya sakit hati hingga kehilangan harapan.
Tatapannya bertumbuk pada sosok Nathan yang hanya diam seolah menerawang. Wajahnya pias seakan seluruh warna di wajahnya terserap habis.
Semua orang tahu seberapa besar kehilangan yang Nathan terima.
Saat itulah seseorang datang menghampiri Nathan. dapat Aldo lihat Nathan menggeleng pelan dan pria yang menjadi lawan bicaranya menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
Entah apa yang mereka bicarakan, pusat Aldo hanya pada gadis yang sedang berjuang.
Pintu terbuka dan semua mata langsung tertuju pada satu arah. Nathalia dan Barata langsung berdiri dan jalan menghampiri dokter yang menjadi dokter Tyara selama beberapa tahun belakangan ini.
Aldo memperhatikan dalam diam bagaimana dokter itu menggeleng dan bagaimana Nathalia merebahkan kepalanya di pundak Barata.
Rara jatuh di pelukkan Rian. Sementara Faris hanya mengusap pundak adiknya.
Tyara telah pergi. Meninggalkan semuanya. Meninggalkan permasalahan hatinya tanpa sebuah jawaban.
Dia pergi tanpa harus menjawab siapa sebenarnya yang ada dihatinya. Aldo atau Nathan.
Gelengan Aldo seolah mengusir semua kenangan buruk yang selalu menghantuinya. Ia mendekati sebuah papan dengan satu kertas yang menempel.
Tanpa menunggu, ia langsung membaca isi kertas tersebut.
Untuk Aldo
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiadaAldo tergugu.
"Do," panggilan lembut itu menyadarkan Aldo.
"Ada apa?" Tanya Qyana lembut penuh perhatian.
Aldo menggeleng perlahan, "Cuma inget Tyara."
Qyana mengangguk paham.
"Aku rasa kamu ngejatohin ini pas kamu ke rumah aku." Qyana menyodorkan secarik kertas yang sudah lusuh.
aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
pada suatu hari baik nantiAldo diam membaca tulisan di kertas yang selalu ia bawa, kertas yang Tyara selipkan di genggamannya sebelum ia terlelap untuk selamanya.
Qyana baru saja hendak berjalan meninggalkan Aldo untuk memberinya waktu saat sebuah tangan memeluknya hangat.
"Makasih udah jadi pundak buat aku. Makasih selalu ngerti aku. Dan makasih karena nggak pernah ngebenci Tyara yang selalu hidup di sebagian hati aku."
==========
a/n
keep on watching for the next story.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegy
ChickLitNatyara dan Renaldo mencintai kopi. Namun elegi dan kopi selalu menjadi hal yang berdampingan, dimana ada hal yang menyakitkan selalu ada hal yang pahit. Ketika mereka sadar akan perasaan mereka, mungkinkah rasa cinta mereka sama seperti kecintaan...