[18]: "Aku Cinta Kamu"

3.3K 261 3
                                    

Aldo mengeratkan genggamannya ke buket bunga yang dia bawa untuk Tyara. Pasaran memang, tapi ia ingin Tyara tahu bahwa ia mencintai gadis itu dengan sederhana.

Dia ingat pesan Faiz, bahwa saat ini yang harus ia hadapi bukanlah lagi seorang Nathan, melainkan Rian, kakak Tyara yang sangat menyayangi adiknya hingga membuat siapapun yang menyakiti adiknya merasakan hal yang setimpal.

Di lain pihak, Faiz pun mengingatkan, bahwa Faris siap menyerang benteng pertahanan seorang Natyara. Yang artinya, jika ia salah langkah dalam menyusun strategi, dia akan kehilangan seorang Tyara.

"Hai, Tyara..."

Aldo menyapa gadisnya dengan lembut, dia bersyukur karena berkat bantuan Faiz ia dapat melihat Tyara lagi secara langsung, tidak hanya melalui buku harian gadis itu.

"Maaf karena saya nggak nepatin janji." Aldo menggenggam tangan Tyara lembut namun erat.

"Aku nggak papa, Do."

Suara itu, suara yang sangat ia rindukan. Dan kalimat itu, kalimat yang selalu ia tunggu-tunggu.

"Kamu udah sadar? Sejak kapan?" Tanpa sanggup ia sembunyikan, senyum Aldo merekah saat ia menatap Tyara.

Tyara tersenyum hangat saat menatap Aldo.

"Aku udah sadar dari tadi pagi," dia balas menggenggam jemari Aldo.

"Dek, gue..."

Ucapan Rian terpotong saat melihat siapa sosok yang sedang bersama adiknya.

"Lo masih punya muka buat dateng kesini?" Nada sinis dalam pertanyaan Rian tidak dapat Aldo hindari.

"Kak, dia kan kesini buat minta maaf," Tyara mencoba meredam amarah Rian.

"Harus ya lo sayang sama cowok sampe segininya? Dua kali, dek, lo masuk rumah sakit cuma karna cowok!" Bentakkan Rian menohok Tyara dengan keras.

"Keluar." Ucap Tyara dingin.

"Oh, jadi gini?!" Rian terkejut dengan reaksi Tyara.

"Aku butuh seorang Kak Rian yang selalu ngedampingin aku. Bukan seorang Kak Rian yang malah mojokkin aku kayak gini." Tegas Tyara dingin.

Keheningan melanda ruangan tersebut.

Rian menatap Aldo tajam, sedang Aldo merasa tidak enak dengan keadaan kakak-adik ini.

"Saya keluar ya," Aldo memohon untuk beranjak, namun tangan Tyara menahan pergerakannya.

Melihat hal tersebut, Rian hanya menghela nafas dan melangkah keluar. Mungkin inilah saatnya membiarkan Tyara tersenyum bahagia.

"Aku.... kangen sama kamu, Do."

Satu kalimat yang meruntuhkan benteng pertahanan Aldo, satu kalimat yang sangat ingin ia ucapkan namun lidahnya kelu.

Aldo tidak menjawab pernyataan Tyara, dia hanya mengelus puncak kepala Tyara dan mendaratkan kecupan di keningnya. Tanda ia juga sangat merindukan kehadiran gadis itu.

"Sekarang, coba jelasin sama aku. Kemana kamu malem itu?" Tanya Tyara memecah suasana yang tentram tersebut.

Aldo menghembuskan nafasnya dengan berat.


---

Nathan menghentikan langkah Aldo yang sedang menuju ke parkiran.

"Siapa yang bilang lo boleh nemuin Tyara?"

Aldo hanya diam, jujur saja saat ini pikirannya sedang fokus kepada seorang Rara. Gadis itu pasti mengkhawatirkan dirinya, karena Aldo sama sekali tidak memberi kabar kepada Rara. Dapat Aldo pastikan, saat ini pikiran negatif Rara sedang merajalela di benaknya.

"Gue sayang sama Tyara. Apa lo nggak bisa ngertiin itu?" Aldo gusar dengan sikap Nathan. Aldo memang tidak dapat menyalahkan sifat over-protective Nathan kepadanya, karena Nathan tahu dia memang seorang playboy yang senang mematahkan hati perempuan. Namun, saat ini tubuhnya sudah terlalu lelah.

"Dia udah terlalu ancur, Aldo. Kalau lo nggak niat sama dia, nggak usah muncul lagi di hidup dia buat ngasih harapan," nada bicara Nathan menajam.

Aldo tertawa getir. Menertawakan kenaifan seorang Nathan.

"Lo nggak tau, Than. Dari dulu gue selalu iri sama lo, sama halnya kayak Topan yang selalu iri sama lo."

Nathan mengerutkan dahinya.

"Ketika dulu gue selalu ada buat Tyara, dia selalu cerita tentang lo. Tentang lo dan pacar lo, tentang lo yang nggak suka sama Topan, tentang lo yang selalu ada buat dia, tentang malem-malem yang kalian lewatin bareng, bahkan tentang kebiasaan kalian bikin harapan di jam 11:11.

"Gue udah suka sama Tyara jauh sebelum gue sadar, bahkan mungkin rasa cinta gue ke Tyara lebih besar dari lo. Gue jatuh suka sama suara Tyara, suara yang entah kenapa bisa ngegetarin jiwa gue. Tapi, Tyara nggak pernah ngeliat gue sebagai cowok, sebagai seorang Aldo yang ada buat dia, seorang Renaldo yang mencintai dia.

"Yang ada di dunia dia cuma lo, lo dan Topan. Itulah yang akhirnya ngeyakinin gue buat pergi ngejar impian gue. Impian yang ketika gue udah berhasil bakal gue jadiin kebanggaan untuk dapetin Tyara tap--"

"Tapi kenyataan nggak berjalan sesuai sama harapan lo, karena ternyata lo ngalamin kecelakaan." Lanjut Nathan dengan pandangan menerawang.

"Tapi sekarang keadaannya udah beda, ada tanggung jawab yang harus gue kasih ke seseorang, tanggung jawab yang bikin gue nelantarin seorang Tyara." Lanjut Aldo dengan kalem, seolah-olah Nathan tidak pernah menyela pembicaraannya.

"Gue selalu marah sama diri gue yang nggak bisa ngebahagiain Tyara, jadi, gue harap lo selalu ngejaga senyum itu," tutup Nathan dengan gamang.

Setelahnya Nathan meninggalkan Aldo, meninggalkan dia bersama seluruh pemikirannya.


---


Aldo membuka telepon selulernya dan menemukan beberapa pesan dari Rara serta panggilan tak terjawab.

Senyum miring tercetak jelas di wajahnya. Dengan segera walaupun lelah, Aldo mengarahkan mobilnya ke rumah Rara.

Sesampainya di rumah Rara, Aldo menemukan Rara tengah duduk di teras rumahnya, seakan-akan mengetahui kehadiran Aldo malam itu.

"Hai, Ra," senyum itu terlihat jelas walau terlihat lelah.

Rara bangkit dan menghambur ke pelukan Aldo. "Kamu kemana aja? Aku telfon nggak bisa, semua SMS dari aku pun nggak ada yang kamu jawab," rengek Rara dalam pelukkan Aldo.

"Maaf ya, aku abis dari rumah sakit."

"Kamu sakit? Kenapa nggak bilang sama aku?"

Aldo tersenyum menenangkan, "Tyara sakit, jadi aku jenguk dia."

Satu nama itu menghantam dada Rara telak. Nama yang akhir-akhir ini menjadi mimpi buruknya.

"Dia dirawat dimana? Sakit apa?" Rara berpura-pura peduli pada Tyara. Ia akui, sebenarnya dia memuja Tyara, tapi kali ini menyangkut seorang Renaldo.

"Dia dirawat di Rumah Sakit Harapan."

Aldo diam setelahnya, seakan-akan ia terlarut dalam pikirannya sendiri, seolah-olah saat itu Rara tidak ada bersamanya.

"Do," panggil Rara lirih.

Tapi tidak ada jawaban dari Aldo, inilah yang Rara takutkan saat mengetahui Aldo menemukan buku harian Tyara. Dia takut kehilangan Aldo, bukan raga Aldo, tetapi hati dan jiwanya. Karena, saat ini pun, saat dia dan Tyara belum bersama, Rara sudah merasakanya.

Raga Aldo ada bersamanya, memeluknya, tapi tidak dengan hatinya.

"Kalau aku sama Tyara sama-sama sakit, siapa yang bakal kamu pilih?"

Aldo menegang sesaat ketika mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Rara.

"Aku cinta kamu, Ra."

Aldo mengatakannya dengan datar, seolah-olah menutupi semua kebohongan yang saat ini menghantuinya.

Usapan di puncak kepala Rara membuat kupu-kupu berterbangan di perutnya, tapi Rara tetap membutuhkan jawaban yang jelas.Kalimat itu tidak menjawab apapun, hati Rara cemas.

"Kamu janji kan, nggak akan ninggalin aku?"

Untuk pertama kalinya Aldo tidak dapat menjawab pertanyaan Rara. Dan untuk pertama kalinya pula Rara sadar, keadaan saat ini sudah berubah.

Aldo  membiarkan pertanyaan itu menggantung, sedang Rara membiarkan jawabannya tergantung. Ia terlalu takut mendengar jawaban Aldo.

-----

a/n

Hai. Gue balik lagi setelah menjemput mood baik gue. Berhubung mood balik dan berhubung ini bisa jadi hari terakhir gue santai, gue bakal update 2 part sekaligus. Untuk ke depannya, gue nggak bisa janji karna udah mulai sibuk lagi sama dunia nyata.

ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang