[2]: Natyara-Nathan?

9.3K 550 9
                                        

Renaldo membuka halaman kedua buku harian tersebut. Matanya menemukan satu nama yang membuatnya makin pesaran namun juga kaget.

Apa ini yang Tyara sebut-sebut elegi di kehidupannya? Elegi yang mengubah hidupnya, menjadikannya seorang yang saat ini, lebih tegar, dan lebih hebat pastinya.

Tanpa dia sadari, Renaldo mengerutkan dahinya perlahan dan mencoba meneliti cerita yang Tyara tulis di lembar tersebut.

*****

Pemandangan kota dari atas sini selalu sama, kemacetan dan gedung pencakar langit. Bahkan suara klakson mobil, teriakkan orang-orang di jalan, atau nyanyian-nyanyian tidak berirama yang bercampur menjadi satu sudah menjadi teman akrab Tyara.

Entah kenapa Tyara tetap merasa kosong di tengah keramaian yang bagi sebagian orang yang belum terbiasa akan terdengar sangat bising.

Dengan perlahan Tyara melangkahkan kakinya menuju sebuah peti yang dia kunci rapat-rapat. Namun saat ini Tyara sangat ingin melihat isinya, mungkin untuk sekedar berkata "hai masa lalu." lalu mengucapkan "selamat tinggal."

Tyara membuka laci yang berada di dekat peti tersebut dan memantapkan hatinya untuk mengambil kunci yang bertahun-tahun dia simpan dengan rapih.

Senyum miris tercetak di wajah cantik yang penuh guratan kesedihan, guratan yang membuat senyumnya terlihat seperti dipaksakan dan guratan yang menghilangkan binar cahaya kebahagiaan dan cinta dari bola mata yang indah itu.

Lama, Tyara menatap sebuah figura yang ada di tangannya. Dia ingat saat itu, kencan terakhir Tyara dengan Nathan sebelum laki-laki itu keluar dari hidupnya dan melanjutkan kehidupan mereka masing-masing.

Tatapan Tyara beralih kesebuah bola basket yang dibubuhi tanda tangan beberapa pemain basket dengan tinta perak. Bola kesayangan Nathan yang akhirnya diberikan kepada Tyara di hari Nathan akan berangkat melanjutkan kuliahnya di Amerika.

"Ini buat kamu, tanda aku bakal selalu ada di deket kamu."

Mata Tyara terasa menghangat saat suara itu menggema di dalam pikirannya.

Aku kangen kamu, Nathan. Kamu apa kabar?

Dengan cepat Tyara mengalihkan tatapannya dan menemukan seuntai bunga yang sudah layu, pertahanan Tyara terpecah saat itu juga.

"Kok kamu ngasih aku bunga daisy?"

"Kamu maunya mawar?"

"Iyalah, siapa coba yang mau milih bunga daisy di deretan bunga mawar?"

"Aku."

Tyara ingat, saat itu pipinya bersemu merah saking bahagianya, saat ini matanya lah yang memerah karena menahan air mata yang akan keluar.

Namun Tyara sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan menangis karena Nathan lagi, karena dia tidak mau Nathan bersedih.

Lagi pula, Tyara sangsi Nathan akan menjadi miliknya kembali jika dia menangisi Nathan. Dan Tyara saat ini masih menikmati masa-masa bahagianya sendiri, tanpa pendamping. Walaupun kedua orang tuanya sudah memaksa Tyara untuk mengakhiri kesendiriannya.

"Aku masih sayang sama karrier aku, Ma," jawab Tyara kalem kalau ditanya kapan dia akan mengenalkan calon suaminya.

Sejujurnya, Tyara belum siap untuk mencari pengganti Nathan, bukan karena karriernya yang sedang menanjak. Tyara merasa dirinya masih membutuhkan waktu setelah rasa sakit yang dia rasakan beberapa tahun lalu.

Aku bahkan tidak percaya rasa cinta itu dapat bertahan dan terasa indah.

Sarkastik.

Tapi apa kalian masih akan percaya akan hal yang sama jika sudah disakiti berulang-ulang dan lukanya masih berbekas?

Dengan perlahan dan penuh perasaan, Tyara menutup peti tersebut dan tersenyum miring.

"Selamat tinggal kenangan, aku akan menemukan kebahagianku, dan meninggalkan Nathan."

Namun seulas senyum sinis tercetak di wajah manisnya.

Dari sepuluh tahun yang lalu juga lo ngomong gitu, Ty, hasilnya?* Dan Tyara hanya terkekeh pelan setelah batinnya berbicara.

Pikirannya tiba-tiba terbang, menggantikan sosok Nathan dengan Renaldo. Renaldo yang dingin, cuek, dan irit bicara.

Tyara tersenyum sendiri saat mengingat lesung pipit sebelah kanan Renaldo saat laki-laki itu tersenyum untuk dia di pertemuan pertama mereka ataupun orang lain yang tersenyum menyapa Renaldo.

Perasaan Tyara terasa menghangat dengan mengingat Renaldo, bahkan dia bisa tersenyum dengan mudahnya, tanpa harus merasa terpaksa ketika mengingat percakapan singkat mereka.

Tyara menoleh ke arah jam digital di nakasnya, 11:11. Tyara tersenyum kecil, kebiasaannya sejak dulu tidak pernah hilang.

Aku harap, aku bisa ketemu lagi sama Renaldo...

*****

Renaldo terdiam membaca kalimat demi kalimat yang Tyara tumpahkan di buku harian tersebut. Siapa pun yang membacanya dapat merasakan kedalaman cinta yang pernah Tyara miliki untuk Nathan. Atau masih?

Nathan beruntung, karena dia pernah memiliki Tyara seutuhnya. Tapi bukan itu yang membuat Renaldo iri terhadap Nathan. Nathan memiliki figur yang selalu Tyara impikan. Nathan bagaikan kuda putih yang diinginkan oleh putri kerajaan.

Renaldo tersenyum miris dan berniat untuk melupakan buku tersebut. Untuk apa? Mungkin Nathan memintanya untuk membaca buku itu agar dia tahu seberapa besar rasa cinta Tyara untuk Nathan.

Dengan gusar Renaldo menarik tas kerjanya dan berjalan keluar dari ruangannya, dia hanya ingin pulang dan menyesap kopi hitam.

Namun ada satu hal yang belum Renaldo ketahui, tentang perasaan seseorang yang dapat berubah seiring jalannya waktu.

---------------------------------------------------------------------------------------------

* Baca 11:11

ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang