[12]: Hampa

3.4K 325 3
                                    

Tidak ada telpon atau pesan singkat yang Renaldo tinggalkan di telepon genggam yang saat ini Tyara pegang. Mata Tyara tidak pernah lepas dari telepon genggamnya, menunggu satu pesan dari orang itu.

Tyara menghela nafasnya berat.

Setelah apa yang terjadi kemarin, ia pikir hubungannya dan Aldo akan berubah menjadi lebih manis.

Pikiran Tyara melayang ke saat ia dan Aldo berada di atas canoe.

"So, tell me about yourself." Pinta Aldo kalem, nada suaranya tetap terjaga.

"Tentang apa, Do?"

"Family?" Jeda Aldo, "Or maybe love life?"

"Not much to tell, tapi aku selalu terlambat buat sadar sama perasaan aku, dan cenderung ngambil keputusan yang salah. Kayak waktu SMP, jelas-jelas ada cowok yang sayang sama aku, tapi aku malah nganggep dia Kakak aku, sampe akhirnya dia pergi.

"Dan juga, pas SMA, aku baru nyadarin perasaan aku buat sahabat aku pas dia jaga jarak karena nggak mau ngeganggu hubungan aku sama pacarku." Tyara menatap riak di danau dengan sendu.

"Dan kamu?" Tanya Tyara saat pandangannya beradu dengan Aldo.

"Saya nggak terlalu inget jelas tentang masa SMP," buka Aldo.

Hati Tyara saat itu juga terasa mencelos, kenapa Aldo tidak pernah mengingatnya?

"Yang saya ingat hanya tentang Qyana, dan band kecil saya, hanya itu." Aldo diam setelahnya. "Sering kali, saya merasa hampa karena merasa ada potongan yang hilang dari masa lalu saya."

Padangan dingin Aldo kali ini berubah, lebih hangat dan menimbulkan gelenyar aneh pada dirinya.

"Boleh saya jujur?"

Pertanyaan Aldo membuat Tyara tersadar dari dalamnya pandangan Aldo. "Silahkan," jawabnya cepat.

"Saya menyukai seseorang, sudah lama kami bersama, hanya saja saya tidak pernah yakin untuk memilikinya dengan ikatan cinta dan komitmen. Dia selalu sabar, tidak pernah mengeluh, apalagi membenci saya. Tapi, gadis itu tiba-tiba datang, mengobrak-abrik pertahanan saya, menimbulkan gelenyar aneh yang telah hilang.

"Bersamanya saya merasa bahagia, menggenggam tangannya membuat saya utuh, dan meliht senyumnya membuat saya hangat."

Aldo berhenti sejenak untuk menatap Tyara.

"Apa yang harus saya lakukan?"

Tyara menghela nafas dengan berat, dadanya terasa sesak mendengar pernyataan Aldo, tapi seperti biasa, ia tidak boleh menunjukkan perasaannya.

"Tyara? Kamu baik-baik saja?" Tabya Aldo dengan cemas.

"Emangnya ada apa?"

"Kanu pucet, dan bibir kamu berdarah," Aldo mengusap pelan bibir Tyara dan menunjukkan darah di jemarinya.

Tyara menggeleng pelan, walau dalam hatinya ia mengeluh, kenapa harus sekarang?

Aldo menatap Tyara dengan khawatir, sedangkan Tyara hanya mencoba tersenyum menenangkan.

Ada yang aneh di senyum Tyara, sudut bibirnya berkedut.

"Kamu yakin baik-baik saja?"

Tyara mengangguk lemah.

Aldo berusaha mendayung kembali canoe ke tepian, namun ia kehilangan keseimbangan dan membuat canoe tersebut terbalik. Ia dan Tyara terjatuh ke danau, denan sigap Aldo memeluk Tyara.

Sedang Tyara yang mulai kelelahan karena sulit bernafas badannya mulai melemah, padahal ia sudah meminum obatnya pagi tadi.

Dengan perjuangan bagi Tyara, dia berhasil berada kembali di atas canoe dan memeluk tubuhnya yang menggigil, darah di bibirnya kembali tercecap di lidahnya.

"Do? Tas.. aku.. tolong--in. Ad.. da.. ob.. obat. A--ku le.. mes," pinta Tyara dengan terbata.

Dengan canggung Aldo mendekat ke arah Tyara untuk meraih tasnya. Sesaat Aldo mengerutkan keningnya saat membuka tas Tyara, ada beberapa kapsul di dalam tabung.

"Kamu sakit?"

Deg.

Apa Aldo menjauh karena mengetahui ia seorang yang penyakitan?

*****

"Do?"

Suara tersebut menarik Renaldo dari buku harian Tyara yang membuatnya terhanyut.

"Kenapa?"

"Lo sebenernya sayang nggak sih sama Tyara?"

ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang