[31]: My Kind of Love

2.9K 233 3
                                    

Lamunan Tyara tidak terusik sedikit pun ketika Papanya melangkah masuk. Ia begitu terlarut dengan pikirannya semenjak ia bangun malam hari tadi.

"Ada masalah apa?"

Kali ini lamunan Tyara terpecah. Ia menoleh dan tersenyum seadanya saat melihat Barata memasuki kamar rawatnya.

"Boys will be boys." Tukas Tyara cepat.

Barata tersenyum mengerti.

"Nathan?" Tanya Papanya langsung yang membuat Tyara mematung. Tapi ia tetap tidak dapat mengendalikan pipinya yang bersemu merah.

"Dia cinta pertama kamu kan?" Tyara tidak memberikan reaksi apapun. Ia selalu malu untuk mengatakan tentang cinta pertamanya.

"Bagaimana dengan Aldo?"

Barata menatap Tyara dalam untuk melihat reaksi putrinya akan nama tersebut. Dan seperti yang sudah Barata duga, putrinya hanya diam mematung.

"Dia, dia brengsek."

Akhirnya satu kata itu terlontar juga dari bibir Tyara. Kata yang selalu ia ucapkan dalam hati hingga membuat dadanya sesak.

"Mungkin dia khilaf," Barata mencoba menjernihkan kembali pikiran Tyara.

Hanya dengusan sinis yang digunakan Tyara sebagai jawaban. "Khilaf yang entah keberapa kalinya."

Kekehan berat Barata membuat Tyara keki. Ia hanya cemberut saat Papanya tidak mengubris perkataannya dengan serius.

"Ketika kamu mencintai seseorang, berarti kamu harus siap menelan pil pahit."

Perkataan Barata menohok Tyara dengan pas. Selama ini Tyara selalu takut untuk jatuh cinta karena takut akan kehilangan yang akan ia alami di kemudian hari.

"Ak--aku nggak tau, Pa." Dengan cepat Tyara memalingkan wajahnya.

Merasa percakapan ini membuat Tyara tidak nyaman, Barata pun mengalihkan pembicaraannya.

"Ohiya, Papa udah bicara sama Mama tentang transplatasi kamu."

Mata Tyara membulat sempurna.

"Tapi, Pa, itu resikonya tinggi." Tyara menatap Papanya dengan tegas.

Memang, Barata dan Tyara baru saja menjalani pengecekan untuk transplatasi hati, dan ditemukan kecocokan antara mereka berdua. Tapi Tyara berharap Papanya tidak akan berbuat senekat ini.

Umur Papanya sudah terlalu tua untuk menjalani operasi.

"Tyara sayang, cuma ini satu-satunya cara yang bisa Papa kasih buat kamu."

Tyara segera menggeleng perlahan. "Kalau kita nggak berhasil?"

Dirinya sadar betul akan tingkat keberhasilan yang rendah dan juga seberapa besar kemungkinan Papanya akan pergi setelah melakukan operasi ini.

Tyara hanya tidak ingin Mamanya kehilangan dua orang sekaligus di saat yang bersamaan.

Tyara menatap pria paruh baya di hadapannya dengan letih. Ia sangat mencintai Papanya, dan ia juga sadar sebetapa besar rasa bersalah yang menghantui Papanya setelah kejadian itu.

Tapi sungguh, ia benar-benar tidak lagi mempermasalahkan itu. Ia sangat menyayangi Papanya dan tidak ingin kehilangannya.

Setelah menatap Papanya untuk kesekian kali Tyara menghela nafas.

"Kalau menurut Papa ini yang terbaik, Tyara cuma bisa ngikutin kemauan Papa."

Barata tersenyum menatap putrinya. Dalam hatinya ia berharap keputusannya kali ini benar. Ia tidak ingin menyakiti putrinya lagi.

ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang