Faris diam mematung. Sedangkan Faiz hanya dapat membiarkan kata maafnya tertelan di lidah.
"Apa sih yang lo pikirin?"
Faiz hanya diam, dia tahu saat ini adiknya tidak akan mendengar apapun pembelaannya.
"Tyara kritis. Lagi. Sesaat setelah dia sadar!" Faris menjambak rambutnya sendiri. "Bego!"
Tatapan cemas Faris tidak dapat lagi dipungkiri, sesaat setelah kakaknya menyusul, seorang perawat berlari tergopoh-gopoh ke arahnya, mengatakan bahwa kondisi Tyara kembali kritis karena beberapa alat penyokong tubuhnya dicabut.
Faris kalap saat melihat keadaan Tyara. Ia tidak peduli pada perawat yang sedang berusaha menolong nyawa Tyara kembali, ia kalut. Ketakutan akan kehilangan Tyara membuatnya kalut.
Ketika ia dan Faiz ditarik keluar, Faris hanya mampu diam mematung. Diam namun hatinya terus merapal doa terbaik bagi seorang Natyara. Doa tulus bagi orang terkasih.
Ingin ia bertukar posisi dengan Tyara, ia tidak sanggup melihat gadis itu berjuang melawan rasa sakit dan maut. Rasanya, ia ingin menanggung seluruh rasa sakit Tyara, karena ia yakin, rasa sakitnya tidak akan sebanding dengan ia yang harus melihat Tyara.
Faris murka, tapi ia tidak dapat menyalahkan perawat tersehut. Bukan hanya Tyara pasien di rumah sakit ini. Tapi, apa pengamanannya selenggang ini?
Faris butuh media untuk menyalurkan rasa sakit dan amarahnya, ia meninju tembok rumah sakit hingga memar di punggung tangannya. Ia sakit karena Tyara namun ia lebih marah pada dirinya sendiri yang tidak becus menjaga Tyara.
Melihat kelakuan Faris, Faiz menatapnya marah.
"Lo pikir dengan gini lo bikin Tyara sehat?!"
Faris mendengus.
"Lo pikir kalau lo nggak ningggalin Tyara, dia bakal kayak gini?!"
Balasan dari Faris membuat amarah Faiz memuncak.
Plak!
Tamparan keras dari Faiz menyadarkan Faris.
"Sadar, jangan biarin emosi ngendaliin elo," ucap Faix tenang tapi menusuk.
Pandangan Faris kosong, baru saja Faiz akan membuka suara, saat suara lirih milik Faris terasa menggema.
"Gue sayang sama dia, Iz. Gue nggak mau dia gini terus."
Kalimat itu keluar bersamaan setetes air mata yang mengalir di pipi Faris.
Sedang Faiz, ia hanya dapat diam tergugu melihat adiknya kacau.
"Maaf karna nampar lo," tulus Faiz.
Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk menjaga emosi Faris yang masih labil.
Faris hanya tersenyum tanda tidak apa-apa.
Tapi sesaat kemudian Faiz menegang.
"Gue bakal cari pelakunya." Tutur Faris
Dingin, tajam, tak terbantahkan.
---
Sepulangnya dari rumah sakit, Rara mengunci dirinya di dalam kamar dan menangis. Menyesali perbuatannya, menyesali segala tindakan gegabah karena cemburu.
Rara mengambil sebuah silet dan menggoreskannya di pergelangan tangannya, tanda penyesalan terdalam atas apa yang ia lakukan untuk Tyara.
Rara menangis tersedu, memindahkan rasa sakit di hatinya ke sebuah luka yang ril, luka yang dapat ia sentuh, ia rasakan, ia lihat.
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di benak Rara, seharusnya ia merasa bangga karena saoat menjatuhkan lawannya. Rara bercermin dan tersenyum.
Tangisnya berhenti begitu saja, ia menghapus air mata di pipinya, mengeringkan darahnya dengam selembar tissue, seakan-akan beberapa menit yang lalu tidak pernah ada.
Rara tersenyum mengerikan, ia memang menyesal, tapi secuil di hatinya senang. Senang bila Tyara pergi.
Karna artinya, Aldo hanya untuk dirinya seorang.
---
Aldo merasa tidak tenang, dia berjalan mengelilingi seluruh kamarnya. Rebah di kasur kemudian duduk di kursi dekat meja kerjanya. Beberapa saat kemudian, ia bangkit mengambil gitarnya, memainkan beberapa nada tapi ia taruh kembali.
Aldo tidak mengerti apa yang membuatnya sekalut ini.
Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Tyara?
Aldo menggelengkan kepalanya dengan cepat. Bagaimana mungkin, sekitar dua jam yang lalu ia baru mengunjunhi Tyara, dan ia terlihat baik-baik saja.
Atau Rara?
Aldo diam terpaku.
Jika secara fisik, Rara tidak apa-apa.
Tapi...
Aldo tersentak.
Tanpa ia sadari, ia sudah menyakiti hati Rara. Ia telah menghancurkan kembali hati yang ia sembuhkan. Mengapa ia tidak ingat bahwa ia memiliki dua matahari yang selalu di sampingnya? Dua matahari yang saling bertolak belakang.
Aldo tertawa pelan.
Bodoh.
Bukankah akan selalu seperti ini? Ketika ia memilih Rara, Tyara akan terluka. Begitu pula jika ia memilih Tyara, Rara akan terluka.
Aldo ragu, kali ini ia akan ada untuk siapa?
Namun seulas senyum menjawab semuanya.
Aldo mengambil telepon genggamnya dan mengetikkan sederet nomor telepon genggam. Ia hanya daoat berharap keputusannya kali ini tepat.
"Halo," sapa Aldo ketika sambungan terjawab.
Tapi, Aldo kembali membuat keputusan yang salah.
Kadang, yang kuat adalah orang terlemah.
Ya, kan?
-----
a/n
Seneng nggak stuck lagi HAHAHAHAHAHAHAHA
Hope you enjooy!
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegy
ChickLitNatyara dan Renaldo mencintai kopi. Namun elegi dan kopi selalu menjadi hal yang berdampingan, dimana ada hal yang menyakitkan selalu ada hal yang pahit. Ketika mereka sadar akan perasaan mereka, mungkinkah rasa cinta mereka sama seperti kecintaan...