Azef melempar laporan yang sedang di pegangnya. Ia menatap marah seluruh karyawan yang ikut meeting siang ini.
"Laporan apa yang kalian buat ini, hah? Semuanya tidak ada yang becus bekerja."
Azef berdiri berkacak pinggang. Seluruh karyawan menunduk tidak ada yang berani mengangkat kepala mereka satu pun.
"Kalian ini bekerja di sini saya gaji. Saya tidak main-main mengeluarkan uang untuk menggaji kalian. Tapi apa in. Cuma membuat laporan seperti ini saja kalian tidak bisa. Siapa yang bertanggung jawab membuat laporan ini?"
Azef menatap nyalang seluruh karyawan. Tiba-tiba seorang karyawan perempuan mengangkat kepala dan tangannya.
"Sa....saya, Pak." Jawabnya terbata.
"Kamu---" tunjuk Azef kemudian melanjutkan.
"Saya tidak mau tahu. Kamu perbaiki laporan ini. Sejam lagi sudah harus berada di atas meja saya. Mengerti?"
"Ba...baik, Pak."
"Rapat selesai. Kembali bekerja!" titah Azef masih dengan wajah marah. Ia keluar dari ruang rapat. Azef mengendurkan simpulan dasi di leher yang terasa mencekik. Hari ini ada saja yang membuatnya kesal. Sedangkan sang Asisten mengikuti di belakang tidak berani bersuara.
"Saya tidak mau di ganggu setelah ini." Ujar Azef tegas.
"Baik, Pak."
Azef masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu dengan keras. Sang asisten pun kaget dan mengusap dadanya. Ia menggeleng, sudah kenal dengan karakter bos nya beberapa tahun belakangan ini.
Sedangkan dalam ruang meeting seluruh karyawan nya mendesah lega setelah Azef keluar. Ruangan tiba-tiba terasa menyempit melihat kemarahan bos mereka.
"Takut banget gue lihat Pak Azef marah."
"Iya, padahal ganteng. Tapi sayang pemarah."
"Alah. Pak Azef kan kerjanya memang marah saja tiap hari. Nggak heran lagi gue."
"Iya sih, benar juga. Apalagi sejak bercerai dengan mantan istri nya yang sudah bahagia sekarang."
"Bisa jadi juga. Cemburu kali lihat mantan sudah bahagia. Doi nya masih sendiri padahal ganteng. Coba aja kalau Pak Azef mau melirik gue dikit. Gue mah nggak nolak walaupun duda. Duda hot, tampan dan kaya."
"Aishh, mau lo itu." Cibir temannya. Mereka tertawa bersama seolah tidak takut jika sang empu yang di bicarakan mendengar perkataan mereka.
Begitulah selentingan percakapan di antara para karyawan yang selalu bergunjing tentang bos mereka.
Azef merebahkan badannya di sofa ruangan. Kepalanya tiba-tiba pusing. Akhir-akhir ini pekerjaannya memang sangat banyak. Bahkan waktu untuk istirahat saja tidak ada. Tubuhnya dan otaknya di paksa untuk bekerja pagi siang malam.
Namun, itu jugalah yang diinginkan Azef. Ia tidak bisa bersantai. Dengan bekerja sedikit beban pikirannya akan terlupakan.
Azef menarik nafas dan membuangnya pelan-pelan. Tiba-tiba ponsel nya berdering. Azef melihat siapa yang menelponnya yang ternyata Rinka, Ibunya. Azef mendesah. Sebenarnya ia sangat malas sekali mengangkat telpon Ibunya yang ujung-ujungnya menyuruhnya pulang lagi.
"Hallo."
"Hallo, Nak. Kamu sibuk?" suara Mamanya terdengar lembut.
"Iya, Ma. Banyak pekerjaan akhir-akhir ini."
"Azef, Mama kan sudah sering bilang. Kamu jangan terlalu memforsir tubuh kamu untuk bekerja. Banyakin istirahat. Kamu itu hidupnya sendiri, Mama juga nggak dua puluh empat jam berada di samping kamu. Nggak bisa perhatiin kamu. Kamu selalu melarikan diri ke pekerjaan. Sesekali kamu ambil cuti dan pergi liburan sekalian bawakan calon mantu buat Mama."
Rinka mulai menyerocos dan mengomeli anaknya. Azef memejamkan mata.
"Sekarang nggak bisa, Ma."
"Alah. Alasan kamu aja itu. Kamu kan yang punya perusahaan, tidak akan ada yang marah. Kamu juga nggak bakalan bangkrut kan."
"Iya, Ma." Azef mengalah. Ia capek berdebat dengan Mamanya. Di saat usianya sudah matang seperti ini, masih saja dianggap seperti anak remaja.
"Oh ya, Mama mau ngabarin nanti adik kamu bawa pacarnya pulang. Kita dinner bareng. Kamu pulang ya!"
"Lihat nanti, Ma. Kalau aku nggak sibuk."
"Mama nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus pulang. Mama masak banyak di rumah. Mama juga kangen sama kamu."
"Aku usahakan, Ma."
"Ya sudah. Mama tutup, ya!"
"bye, Ma."
Azef melempar ponselnya ke arah sofa. Ia kembali memejamkan mata. Ia ingin mengistirahatkan badannya sejenak. Rasa lelah tidak bisa dihindari tubuhnya.
***
Ting Tong Ting Tong
Bunyi bel berbunyi. Grace sedang asyik menonton siaran Tv. Sedangkan Seren sedang memasak di dapur untuk makan malam.
"Sayang, open the door, please!" teriak Seren dari dapur.
"Oke, Mam."
Grace pun bangkit dan berjalan hendak membuka pintu.
Bel kembali berbuny.
"Wait!" teriak Grace.
Grace membuka pintu dan melihat seorang lelaki jangkung berdiri di hadapan nya. Grace terkejut dan melebarkan matanya namun bibirnya tidak berucap. Grace menelisik pria jangkung itu dari atas sampai bawah begitu pun dengan tamu tersebut. Ia tidak bisa mengalihkan mata nya dari gadis kecil yang beranjak dewasa di depannya.
Uncle.
Bisik hati Grace berteriak. Ia sangat senang sekali bisa bertemu dengan laki-laki di hadapannya. Namun ia tidak berani memeluk pria tersebut.
"Who are you?" Grace berusaha tenang.
Sebelum pria itu menjawab. Serenada datang dari belakang.
"Siapa, Sayang?"
Pria tersebut dan Grace kompak serentak menatap Seren yang mematung dan terkejut berdiam diri di tempatnya. Suasana benar-benar hening dan sunyi. Wajah Seren langsung pucat melihat siapa yang menjadi tamunya. Ia tidak siap.
"Mami."
Deg
Kali ini si pria yang di buat tak kalah terkejut mendengar panggilan gadis kecil di depannya.
"Mami?" ulang pria itu kembali bertanya dan menatap tajam Seren. Ia tidak mengerti dengan situasi yang ada di hadapnnya sekarang.
Terkejut tentu saja adalah reaksi dari tubuhnya saat ini.
Tbc!
23/02/22
Gaess coba tebak siapaa laki-laki ituu??
Ada yang tahuu kahh??
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Batas (Salahkah Aku mencintaimu)✓
RomanceAku tak bisa memilih kemana hatiku berlabuh. bukan mau ku memilih dirimu. salahkah Aku mencintaimu??? andai aku bisa, Aku akan memilih laki-laki lain yang bisa ku cintai dan mencintaiku. namun apalah daya, logika terpatahkan oleh hatiku yang terj...