2. TKI

52.7K 2.6K 9
                                        

Apa yang kamu lakukan ketika hari ini adalah hari terakhir kamu?

Makan, makanan favorit? Shop till you drop atau ... be a good person, menyambangi fakir miskin, memberi makan ke anak-anak terlantar atau ngasih donasi ke charity center?

Oh ok, yang aku maksud adalah bukan hari terakhir kamu berada di dunia yah. Aduh itu sepertinya gloomy banget, nggak ... nggak, aku bukan tipe-tipe gloomy begitu. Yang aku maksud adalah hari terakhir kamu berada di suatu negara. Lebih tepatnya hari terakhirku berada di salah satu negara Nordic ini, yang membuatku sering harus memakai jaket tebal di musim yang mereka bilang summer. Jangan bilang deh kalau musim dingin, aku sudah pasti pakai baju berlapis – lapis dan tetep gemeteran.

Hari ini, oh lebih tepatnya malam ini adalah malam terakhir setelah dua tahun menjajal bekerja di kantor pusat perusahaan tempat aku menggantungkan napas hidup.

"Go abroad, get some experience!" kata si Pak bos beberapa tahun lalu, yang ajaibnya aku turuti padahal aku nggak nurut-nurut tuh ketika disuruh si Mami untuk mengurangi makan cabe, biarpun sudah terbukti mengakibatkan aku harus bolak balik bersilaturahmi dengan dokter.

Tapi entah kenapa perkataan si Pak bos bagaikan mantra, terus terngiang-ngiang di dalam telinga, seperti rapalan dukun untuk mengusir setan. Berakhir dengan aku mengajukan diri ketika ada job opening di kantor Hongkong, tentunya sukses membuat beberapa temanku terperangah. "Karir loe di sini kan cukup bagus, ngapain harus terlunta-lunta ke Hongkong segala?" kata salah satu temanku. Entahlah, mungkin I was not in the right state of mind waktu itu, tega meninggalkan segala kenyamanan di Indonesia, kenyamanan Bi Surti seseorang yang sudah seperti Ibu keduaku, selalu menyiapkan segala kebutuhanku, nikmatnya bakso dan nasi uduk, don't talk about nasi padang, that is the worse ... worse part that I have to leave behind.

Akhirnya aku terbang ke Hongkong untuk menjadi TKI. Literally TKI, bukan bekerja untuk ngosrek ubin dan toilet tapi aku adalah tenaga kerja asal Indonesia. Umpel-umpelan dengan orang dari multi negara, tinggal di apartemen yang mirip kamar kos dengan sewa bulanan selangit. Tapi ternyata aku menikmatinya!

Jadi pekerja professional international, sebutan humble-nya expat. Hidup mandiri, a single gal in a foreign country. What can be cooler than that!

Ternyata aku tidak puas sampai di Hongkong saja, setelah menghabiskan masa satu tahun di sana aku pikir kenapa harus berhenti di sini? Kalau orang-orang kaukasia itu bisa bekerja berkeliling dunia, kenapa tidak dengan aku, orang Indonesia. Walaupun jujur waktu itu, aku adalah satu-satunya orang lokal dari kantor Indonesia yang menjelajah bekerja di kantor negara lain. Setelah banyak berdiskusi dengan bos yang kali ini seorang Ibu energik dan cantik akhirnya aku memenangkan kompetisi untuk bekerja di kantor pusat di Swedia. Sumpah padahal saat itu musim dingin di Hongkong sudah membuatku menggigil bak orang meriang, dan aku menuju ke negara baru dengan suhu di musim dingin bisa di bawah titik beku. Aku menyalahkan kurangnya asupan vitamin nasi padang yang membuat tingkat kewarasanku terjun bebas waktu itu.

Jadilah aku terbang ke salah satu negara utara di Eropa ini, Batari Kirana, si gadis berkulit cokelat, oleh orang Indonesia dianggap terlalu gelap tetapi untuk orang-orang di negara Nordic ini kulitku sangat cantik karena terlihat eksotis. Untuk pertama kalinya aku tidak minder karena berkulit gelap!

Dua tahun di negaranya ABBA ini ternyata berlalu sangat cepat, belum sempat aku membuat kulitku terlihat lebih terang. Suer, aku pikir udara dingin di sini akan lebih mujarab untuk membuat kulitku agak memutih, alih-alih lebih putih ternyata aku sukses menjadi lebih gelap. Sepertinya perkataan 'terjun ke dunia hitam' memang sangat cocok untukku. Maka walaupun aku masih tetap hitam, tetapi cukup manis, aku harus menghadapi kenyataan bahwa hari ini adalah hari terakhir. Malam ini adalah malam terakhir, karena keesokan harinya aku akan terbang kembali pulang ke pelukan Ibu pertiwi, dengan limpahan bakso dan mie ayam yang sudah menanti.

Pertanyaan tentang apa yang aku lakukan di hari terakhir ini? Tentunya party cintah!

Beberapa kolegaku yang berkulit putih bin berambut terang itu sudah lebih tidak sabar dari aku. Sedari jam kerja belum di mulai, mereka sudah kasak kusuk, memasak rencana yang sudah mereka godok beberapa hari sebelumnya.

Stephanie si rambut pirang menyambangi mejaku ketika aku masih sibuk dengan berbagai pertanyaan untuk meminta approval kolega dari kantor Shanghai. Yep, hari terakhirpun aku masih bekerja keras, berjuang tanpa henti bak tantara Indonesia yang sedang berperang untuk membebaskan diri dari penjajah.

"Serius kamu masih fokus kerja?" tanya Stephanie, wangi aroma kopi dari cangkir di tangannya membuat imanku goyah. Padahal aku bersumpah untuk menyudahi jatah kafeinku hari ini, berhenti dicangkir ketiga, tetapi makhluk ini ternyata seperti malaikat penggoda iman yang siap menjerumuskan aku ke dunia gelap.

"Aku pengen pergi tanpa meninggalkan tanggungan," kataku sambil menelan ludah. Pada stage sekarang aku sudah siap terjun ke dunia gelap itu asalkan ada secangkir kopi yang akan bisa aku nikmati.

Stephanie mendesah, seperti sedang menghadapi bahaya kelaparan yang akan menghantam Afrika. "Yang lain sudah mulai siap-siap, ini pesta kamu, nggak mungkin kalau kamu telat."

"My dear, aku nggak mungkin telat!" menunjuk ke arah jam di pergelangan tangan dengan jarum tertuju ke angka empat, lupa pada kenyataan bahwa para kolega di kantor ini akan mulai melenggang satu persatu di jam empat sore.

Dia mengerutkan kening, tidak mempercayaiku, yang menurutku cukup menyebalkan. Bagaimana mungkin salah satu kolega terdekatku ini meragukan kredibilitasku?!

"O yeah, kamu nggak mungkin telat? Kamu pikir kamu bicara dengan orang yang baru saja kenal kamu?" Stephanie bersungut-sungut.

Senyuman kecut mengembang kecil dari sudut mulutku. Ok, memang pernah ada pengalaman aku sekali telat. O yah ... baiklah, dua kali. Tiga atau empat kali?

Untuk lebih singkatnya akan aku rangkum dengan, aku pernah telat beberapa kali. Tapi hey ... tentunya aku punya alasan yang cukup kuat. Pernah telat untuk memastikan pengiriman produk display window A kami berangkat minggu itu, bayangkan kalau sampai telat para manekin yang bertebaran di penjuru dunia itu akan kehilangan rok-rok lipat mereka! Tidak mungkin kan mereka berdiri hanya mengenakan blus saja tanpa rok, dan sumpah, untuk memutuskan rok lipat berwarna turquoise itu sebagai salah satu produk window A sangat berbelit, jadi aku tidak bisa membiarkannya telat terkirim walaupun hanya sehari. Tidak selagi nyawaku masih dibadan! Atau telat karena tiba-tiba kolega dari Indonesia mengundang video call super penting yang tidak bisa ditunda, atau telat karena aku harus kembali lagi ke kantor untuk mengambil telepon genggamku yang memutuskan untuk chilling out lebih lama di atas meja kerja. Ok, ini karena aku ceroboh.

"Jangan lebih dari jam lima, ok! Kita akan berkumpul di tapas bar tempat biasa sebelum lanjut makan malam. Ingat, jangan lebih dari jam lima!" Seruan Stephanie terdengar lebih mengancam dari teriakan Gladiator sangar yang membawa pedang dan tameng.

Aku memberikan acungan jempol ke salah satu kolega terdekatku itu, sebelum dia melanjutkan aksi berisik dan berakhir menjadi terlantarnya pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tapas, makan malam dan tentunya ke club, malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang