32. Indara

12.1K 1.3K 30
                                    

Genta dan Gabriel.

Kombinasi dua nama yang membuatku susah tidur. Setelah kejadian kemarin, belum ada kabar dari Genta. Diam. Sunyi.

Pun aku, tidak berusaha untuk menghubunginya. Kalut karena kejadian dengan keluarganya, juga ciuman – yang kedua kalinya- dengan Gabriel. Marah dan bersalah. Semua bercampur menjadi satu.

Gabriel tetap bersikap seperti biasa, atau bahkan lebih. Tadi pagi dia sengaja menunggu di lobi gedung, ingin ngopi bareng katanya. Tentu saja aku menolak, dengan dalih banyak kerjaan. Alasan, yang tidak sepenuhnya kubuat-buat. Senin adalah gudang pekerjaan. cukup membuatku sibuk sampai saat ini, di saat hari sudah mendekati akhir.

Aku dikejutkan oleh suara dering telepon di meja. Dari resepsionis.

"Batari Kirana," kataku singkat dan tegas, seperti biasanya.

"Ada tamu mbak," kata Indah sang resepsionis di ujung telepon.

Dahiku berkerut. Tanganku dengan refleks membuka kalender di layar laptop. Tidak ada appointment, saat ini. Bahkan sampai jam kantor berakhir, jadwalku terbuka tanpa ada jadwal bertemu orang.

"Siapa? Orang pabrik?" tanyaku.

"Temen Mbak, penting katanya."

Teman. Aku memutar otak, apakah ada janjian dengan teman yang lupa terekam di otakku. Nihil. Aku tidak bisa mengingat apapun di sana.

"Saya ke depan, Ndah."

Aku mencari-cari sosok yang familiar ketika sampai di lobi kantor, tetapi tidak ada seorangpun di sana kecuali dua orang resepsionis.

"Ada di ruangan meeting kecil mbak, kebetulan lagi kosong." Indah menginformasikan, dia memang selalu akomodatif dan cekatan.

Aku mengangguk untuk berterimakasih, lalu dengan langkah cepat menuju ruangan meeting kecil yang terletak tidak jauh dari ruangan resepsionis. Mendorong pintu, tanpa mengetahui siapa yang akan aku temui di dalam sana.

Sesosok wanita dalam balutan dress berwarna merah anggur, berdiri dengan anggun. Tubuhku membeku. Kenapa dia berada di sini. Kenapa dia bisa tahu kantorku?

Indara.

"Halo," sapanya, masih dengan suara lembut yang sama.

"Ada urusan apa kamu ke sini?" balasku, terdengar terlalu defensif dari yang aku maksudkan.

"Aku cuman ingin mengunjungi kamu," senyum menawan terbentuk dari bibirnya yang berwarna senada dengan gaun yang dia pakai. "Kamu tidak mempersilahkan aku untuk duduk?"

Aku tidak mengindahkan perkataannya. Aku meletakkan satu tangan ke pinggang, sedangkan tangan lainnya bertumpu ke salah satu kursi, kedua kaki sedikit merentang. Posisi kuda-kuda, dan menantang.

"Baiklah," lanjutnya.

Dia memposisikan dirinya tidak kalah menantang dariku, walaupun tanpa terucap, perang sudah berkecamuk antara aku dan perempuan yang baru saja aku temui ini.

"Apakah kamu tahu kalau kami pernah berpacaran. Aku dan Genta," katanya kasual, seolah-olah sedang memberitahuku apa yang baru saja dia santap untuk makan siang. "Kami teman satu SMA, dan hubungan kami semakin dekat di tingkat akhir. Orang tua kami juga adalah teman akrab, Ibuku dan Mama Genta."

Dia melemparkan senyum, menggarisbawahi kemenangan yang sudah tergenggam di tangannya.

"Walaupun masih SMA, kami benar-benar dimabuk cinta. Walaupun dia harus ke Amerika untuk kuliah, hubungan kami tetap berlanjut. Bahkan jarakpun tidak bisa membendung cinta kami." Lagi-lagi dia melemparkan senyuman pongah.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang