Hening.
Bapak membeku, benar-benar membeku. Seperti ada sengatan udara super dingin menghantam tubuh beliau, beliau tidak bergerak, tidak satu milimeterpun.
Mataku melirik ke arah Mami, dagunya seperti kehilangan daya cengkeram, jatuh, meninggalkan sebuah gua menganga di antara bibir beliau. Pantatku tertancap dalam ke bantal sofa, tidak bernyali untuk membuat gerakan sekecil apapun, mengatur setiap tarikan napas sepelan mungkin, bahkan suara televisi bagaikan background yang menyakitkan telinga. Saat ini aku benar-benar tidak bisa menduga apa yang akan terjadi kedepannya. Marah? Tidak Marah? Please ... please jangan marah. Tapi bagaimana mungkin beliau berdua tidak marah, aku hamil!
Akhirnya terjadi gerakan, pheeww ... paling tidak. Walaupun sekarang nyaliku lebih ciut dari sebelumnya. Aku persis seperti tikus kecil yang meringkuk di sudut ruangan menghadapi kucing yang sedang lapar.
Bapak meletakkan remot televisi yang sedari tadi berada di genggaman tangannya. "Siapa pacar kamu. Harusnya dia datang ke sini menemani kamu, kalian berdua bertanggung jawab, bukan hanya kamu sendiri."
Glek.
There you go. Aku sudah bisa melihat amukan badai tidak jauh dari pelupuk mata, aku menelan ludah yang terasa pahit, lebih pahit dari sayur pare yang dimasak tanpa ikan asin. "Mmm ... Tari ... Tari mau membesarkan anak ini sendirian Pak." Aku mengambil jalan pintas. Potong Kompas, lebih baik langsung menuju ke solusi yang akan aku ambil. Solusi? Sebenarnya aku tidak yakin apakah itu bisa dikategorikan sebagai solusi.
"Maksud kamu?" kali ini Mami yang bersuara. "Pacar kamu tidak mau bertanggung jawab?"
Aku menggeleng lemah, memutar otak bagaimana untuk menerangkan ke beliau berdua bahwa aku hamil akibat one night stand.
"Minta dia ke sini, atau di mana rumah orang tuanya? Bapak yang akan turun tangan kalau dia tidak mau bertanggung jawab setelah menghamili anak orang!" suara Bapak menggelegar, sangat jelas dia akan siap untuk melibas siapapun lelaki yang menghamili aku.
"Mm ... masalahnya," aku menggigit bibir, menyiapkan kuda-kuda jiwa dan raga untuk menghadapi hantaman badai yang akan datang sebentar lagi. "Tari tidak tahu cowok itu sekarang dimana," kataku dengan suara lemah.
"Dia pergi? Kabur?" tuntut Bapak.
"Bukan kabur Pak, dia ... Tari ...," aku menarik napas. "Tari dan dia, hanya ketemu satu kali saja. Tidak pernah bertemu lagi habis itu," aku menunduk, saat ini aku benar-benar tidak berani menatap wajah-wajah beliau.
"Heee ... maksud kamu?" kali ini Mami yang bertanya.
Aku menggaruk kuku hingga membuatnya patah, memelintir secuil kecil kuku yang berada di jemariku. "Waktu itu ... hari terakhir Tari di Stockholm, kami bertemu di club ... lalu ... lalu melakukan," tenggorokanku tercekat, kabur mungkin adalah pilihan lebih bijaksana dari pada menerangkan ke kedua orang tuaku tentang one night stand yang mengakibatkan aku hamil. "Tari pulang ke Indonesia dan tidak pernah ketemu dia lagi."
"Kamu tidur sama laki-laki yang baru saja kamu temuin ... di diskotik!!!" suara Bapak meninggi.
Aku ingin memprotes, bukan diskotik. Club. Diskotik itu adanya di tahun delapan puluhan, di jaman celana baggy adalah simbol fashion, sekarang kata diskotik sudah layak dikategorikan sebagai antik. Vintage. Tidak ada lagi.
"Maafin Tari Pak ... Mi," mataku melirik ke arah Mami yang saat ini wajahnya sudah pucat pasi. Putri bungsunya baru saja memberitahu bahwa dia hamil setelah tidur dengan cowok yang dia temui di diskotik ... mmm club, sebuah kenyataan yang lebih menakutkan ketimbang bertemu pocong gentayangan.
Bapak menoleh ke arah Mami, kilat mata beliau tampak menakutkan, perpaduan antara marah, syok, sedih. Semuanya bercampur menjadi satu. "Salah apa kita mendidik Tari, Mi?"
Mami memandang Bapak tanpa daya, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu lalu dia urungkan. Bahu beliau melorot, lalu aku melihat setitik air bening jatuh dari matanya. Dengan refleks aku bergerak hendak menghampiri Mami, lalu aku tahan, aku tidak tahu apakah itu sesuatu yang bijaksana, walaupun hatiku perih melihat Mami menangis. Terlebih lagi, beliau menangis karena aku.
"Terus, mau kamu apain sekarang?" suara Bapak masih terdengar berang.
Ok, mungkin dia lupa perkataanku beberapa detik yang lalu atau sengaja tidak mau mendengarnya. "Tari memutuskan untuk membesarkan anak ini, Pak," ada ketegasan dalam suaraku yang lemah.
"Kamu mau punya anak tanpa suami? Mau ditaruh di mana muka Bapak dan Mami!" kali ini Bapak berdiri dari tempat duduknya, dia berjalan mondar-mandir di depan televisi. "Nggak bisa, kamu nggak bisa hamil tanpa suami!" Bapak berdiri tegap, matanya menghunus ke arahku.
Lagi-lagi aku menelan ludah, lalu aku memberanikan diri untuk menatap ke arah Bapak. "Tari nggak bisa mem ... nggak bisa. Ini anak Tari, darah daging Tari. Cucu Bapak dan Mami."
"Dari hasil hubungan haram?!" suara Bapak kian meninggi. "Mi?"
Mami menoleh ke arah Bapak, bintik-bintik bening bertambah banyak di pipinya. Beliau tidak berkata apa-apa, hanya menatap Bapak dengan sayu.
"Kamu harus gugurin kandunganmu, Bapak yang akan cari tahu di mana!"
"Nggak Pak!" suaraku terdengar lebih tegas dari yang aku duga, aku menatap Bapak penuh dengan tekad dan kepastian. Tidak akan ada yang boleh menyakiti bayi dalam kandunganku, tidak selama aku masih hidup.
Wajah Bapak dipenuhi kilatan kemarahan, sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya selama tiga puluh dua tahun masa hidupku. "Kamu gugurin atau kamu tidak bisa pulang lagi ke rumah ini!"
"Pak ...," suara Mami lemah.
Bapak bergeming, dia tetap menatapku dengan amarah.
"Tari minta maaf sudah mengecewakan Bapak dan Mami, tapi keputusan Tari sudah bulat. Dan ini bukan karena Tari ingin melawan Bapak, ini karena anak Tari. Maafin Tari, Mi." Aku berdiri, hendak melangkah ke arah Mami, lalu terhenti oleh kilatan tatap mata Bapak. Mungkin ini akhir ceritaku dengan kedua orang tuaku, hatiku tercabik tetapi dengan langkah kuat aku akan melakukannya. Demi anakku. "Tari pulang Mi ... Pak."
"Tari!" seru Mami.
Langkahku terhenti, menoleh ke arah Mami yang sedang menangis tersedu-sedu. Di antara semua yang terjadi, ini yang paling membuat hatiku sakit, melihat Mami menangis. Aku memandang beliau, melalui tatapan mata, aku meminta restu akan jalan berat yang akan aku lalui ke depannya. Beliau menatapku penuh kesedihan, tapi aku tidak menemukan raut kemarahan di sana, sesuatu yang membuatku lega. Aku membalikkan badan, kembali melangkah ke arah pintu keluar.
"Tari!" seru Bapak.
Lagi-lagi langkahku terhenti, mematung di tempat.
"Kalau kamu berani melewati pintu itu, jangan harap Bapak akan memperbolehkan kamu untuk kembali ke sini!"
Aku bisa mendengar keseriusan dalam suara Bapak. Aku menarik napas dalam, mengumpulkan keberanianku yang tercerai-berai, tanpa menoleh, aku melanjutkan langkah, menuju pintu, keluar dari rumah ini. Mungkin suatu saat aku akan bisa kembali ke sini, mungkin juga tidak, tapi tekadku sudah pasti.
****
Author's note :
Saya suka menulis karakter wanita yang tangguh, walaupun lagi jatuh nyusruk terpuruk ... againts all odd selalu akan bisa bangkit lagi.
Untuk wanita-wanita tangguh di luar sana, bravo. Four thumbs up!
Xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...