12. Life Must Go On

17K 1.4K 13
                                    

Diskusi dengan Heidy tidak membawa hasil. Sama seperti diriku, dia sama takutnya untuk memutuskan apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Aku pindah ke apartemen, lebih awal dari jadwal sebelumnya, beralasan bahwa harus sering lembur dan pulang ke apartemen menjadi pilihan lebih praktis. Mami tidak percaya tentu saja, tetapi pulang ke rumah adalah bukan pilihan, setiap kali aku harus terus menerus menghindari Mami atau Bapak, takut mereka akan menemukan kebenaran seandainya kami bertatap muka.

Tentu saja aku tidak bisa terus menerus diam. Janin yang sekarang berukuran sebesar kedelai, lama kelamaan akan tumbuh sebesar apel, lalu berkembang lagi sebesar kelapa lalu ... aku membenamkan diri ke dalam bantal. Walaupun sangat takut, ide untuk menggugurkan kandungan melintas di kepalaku, lagi. Satu-satunya ide yang sering melintas di kepalaku. Aku tidak mungkin hamil di luar nikah. Mami dan Bapak pasti akan terkena stroke kalau beliau berdua tahu, lalu para kolega di kantor, tetangga? Plus aku tidak tahu menahu apapun tentang bayi! Aku memang memupunyai dua keponakan yang lucu-lucu, tetapi setiap kali bertemu mereka, selalu ada suster yang mendampingi. Sedangkan bayi? Makhluk kecil dan lemah yang sepertinya bisa patah hanya karena salah memegang.

Tetapi aku terlalu pengecut untuk merealisasikan ide tersebut. Aku butuh seseorang untuk membenarkan ide ini, untuk memastikan pilihan yang tampak sangat abu-abu. Itu sebabnya aku memanggil Mbak Rani, menyeretnya dari rumah ketika dia sudah berbalut piyama, duduk manis di depan tivi, bersiap untuk menikmati Netflix.

Sekarang kami di sini, di salah satu restoran cepat saji, karena ini adalah tempat yang masih buka dan memperbolehkan pemakai piyama untuk masuk. Aku memilih duduk di bangku belakang, jauh dari pengunjung lain. Mbak Rani masih berbalut piyama, dengan sendal jepit berwarna pink melekat di kaki, mukanya tertekuk dua belas karena date dengan Netflix kesayangannya terenggut.

"It's better be some real drama, bukan sekedar cerita kamu naksir teman sekantor atau bos kamu yang kamu bilang ganteng itu!"

Glek!

Aku meraih botol air kemasan dari meja, berharap berisi cairan whiski, bukan air mineral yang hanya bisa menghilangkan dahaga. Kali ini, aku benar-benar membutuhkan booster untuk keberanian.

Terbatuk kecil lalu menata napas, kamu bisa Tari, kamu harus berterus terang ke kakakmu satu-satunya ini. "Ok ... mmm, Mbak Rani boleh menghakimi aku setelah ini. Emm ... tunggu, nggak boleh ... tapi sepertinya aku memang pantas di hakimi ...," aku menggosok ujung jempol tanganku, hingga membuat kutex warna merah Marylin Monroe yang tadinya seksi menghiasi kuku terkelupas.

Mbak Rani mengerutkan kening, air mukanya terlihat tidak sabar.

Rentetan kata pengantar yang sudah aku siapkan sebelumnya mendadak lenyap, hilang tak berbekas, bak jelangkung yang pergi tanpa perlu diantar. "A ... aku ... hamil mbak."

There!

Sekarang aku siap menunggu ledakan gunung api yang akan segera datang menerjang.

Tubuh Mbak Rani seperti membeku, kedua bibirnya membuka seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak ada suara yang keluar dari sana, kedua matanya membatu, saat ini dia teramat sangat mirip dengan salah satu patung di Madam Tussaud. Hanya saja, di Madam Tussaud hanya menampilkan patung figur-figur terkenal, dan Mbak Rani jelas bukan salah satu diantaranya.

"What?" akhirnya terdengar juga suaranya, lebih mirip seperti desahan tinggi.

"Hamil ...," cicitku.

Mbak Rani seperti mengumpulkan kesadaran yang saat ini terlihat tercerai berai, dia menempelkan telapak tangan di kedua pelipisnya. "Ok, tolong jelaskan. Siapa yang menghamili kamu, pacar yang aku tidak tahu menahu?"

Aku menghela napas dalam, lalu menceritakan pertemuanku dengan si bule bermata biru, satu malam yang membawa kekacauan dalam hidupku sekarang. Tidak ada yang aku tutupi dari Mbak Rani, kecuali detail percintaanku dengan si bule bermata biru itu, atau fakta bahwa pakaianku sudah tercerai berai ketika kami sampai di depan kamar hotelnya.

Aku menelan ludah yang terasa pahit setelah selesai bercerita, sedangkan Mbak Rani hanya diam, mencerna semua ceritaku dan kenyataan yang baru saja di dengarnya.

"Ok ...," dia mengurut pelipis dengan kasar. "Sekarang apa yang akan kamu lakukan?"

Eh? "Aku berharap ... bisa mendapat pencerahan dari Mbak Rani."

Dia menghela napas, dari gerak tubuhnya aku bisa menangkap dia mencoba memposisikan diri sebagai seorang dewasa, seorang kakak, yang dapat memberikan petuah bijaksana yang saat ini sangat dibutuhkan oleh adik semata wayangnya.

"Ada dua pilihan," dia memberikan jeda. "Kamu bisa meneruskan kehamilanmu dengan resiko si Mami dan Bapak mungkin akan terkena serangan jantung dini, dan tekanan sosial yang mungkin saat ini hanya Tuhan yang bisa mengetahui."

Bulu kudukku berdiri mendengarnya, efek sama seperti ketika aku melihat Valak di bioskop.

"Pilihan kedua adalah ... kamu tidak meneruskan kandunganmu ...,"

Mbak Rani membiarkan kalimatnya menggantung, terlalu takut untuk meneruskannya. Walaupun kami berdua tahu apa arti dari 'tidak meneruskan kandungan', tetapi kami berdua terlalu takut untuk mengucapkannya secara nyata apalagi kencang. Kata itu bagaikan nama Voldermort, pantang untuk diucapkan.

Lagi-lagi aku menelan ludah.

"Aku ... aku takut membuat pilihan yang salah Mbak," cicitku.

"Tari ... apapun yang kamu pilih nantinya bisa dikatakan tidak benar, karena keadaanmu sekarang sudah salah. Konsekwensi dari tindakan kamu yang ceroboh tanpa berpikir panjang, sekarang kamu harus memilih salah satu dari pilihan yang dua-duanya pahit, tapi harus kamu hadapi karena hidupmu harus terus maju ... bukan ... hidupmu akan terus maju, waktu tidak akan terhenti di sini, disaat perut kamu masih belum melembung dan tidak ada orang yang tahu!"

Aku tercenung mendengar monolog panjang Mbak Rani. Dia benar, apapun fakta yang aku hadapi sekarang, hidupku harus terus berjalan, dan aku harus melakukan sesuatu.

"Tari ... aku nggak bermaksud menghakimi ka—"

"Nggak Mbak, Tari ngerti. Aku nggak bisa terus diam saja, life must go on and I have to do something about this. Janin ini," suaraku tercekat ketika mengucapkan dua kata terakhir. Aku diliputi perasaan bersalah walaupun aku tidak mengatakannya secara langsung. Janin ini ada tanpa minta untuk diadakan, dia tumbuh karena aksi cerobohku dan aku akan menempatkanya sebagai sosok ... orang, yang bertanggung jawab atas aksiku.

"Apapun keputusanmu, aku akan mendukung. I got your back, kakakmu ini, walaupun kadang tengil dan suka semena-mena, aku akan tetap akan berada di belakangmu. Mendorongmu kalau diperlukan ... atau menangkapmu kalau mungkin kamu tidak lagi mampu berdiri. You have me ... ok."

Aku merasakan sesuatu yang panas di kedua pelupuk mata, Mbak Rani benar, dia selalu ada

untukku, dari dulu, ketika kami masih kecil. Kita adalah tim. Seperti sekarang, dia tidak akan ragu menempatkan dirinya dihadapanku untuk melindungi adik kecilnya, karena kita adalah tim. Kita saling melindungi satu dengan yang lainnya.

"Mbak ... tahu tempat untuk ...," aku menelan ludah. "Untuk aku melakukannya ... menggugurkan kandungan?"

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang