Main kucing-kucingan itu tidak gampang. Main kucing-kucingan dengan pacar? Itu sangat menguras tenaga. Lelah. Beberapa kali dalam seminggu aku harus dipusingkan bagaimana mengatur siasat supaya Genta dan Gabriel tidak bentrok. Gabriel yang selalu bersemangat, kalau aku ijinkan, setiap hari dia akan dengan suka cita bertandang ke apartemen untuk bertemu dengan Agni. Dan Genta, dengan jadwal tidak menentunya untuk mampir ke apartemen atau mengajak keluar. Hidupku seperti kurang tantangan saja, kini harus menguras otak supaya kedua laki-laki itu tidak bertemu tanpa sengaja.
Kesulitan mengatur jadwal hanya dianggap ringan oleh Gabriel. Sepertinya lelaki itu sudah menunggu untuk bertemu dengan genta. "What's wrong with meeting me?"
What's wrong katanya? Seperti kenyataan bahwa dia pernah tidur denganku , dan Agni sebagai hasilnya, tidak pernah terekam ke otaknya. Sedangkan aku dan Genta belum. Well ... dia memang tidak tahu kalau aku belum pernah tidur dengan Genta.
Genta. Oh tidaaaak. Hatiku selalu berhenti berdetak setiap alisnya berkerut ketika aku memberikan alasan yang terdengar terlalu dibuat-buat untuk tidak bertemu dengannya, pergi makan malam atau sekedar mampir ke sini. Pusing. Menguras tenaga.
Itu sebabnya, semua ini harus berhenti secepatnya! Aku kehabisan akal, sama seperti seorang istri kehabisan ide memasak. Otakku menolak bekerja, atau mungkin aku tidak sepintar itu. Lebih baik otakku yang tidak seberapa besar ini aku pergunakan untuk memikirkan hal lain. Itu sebabnya aku memutuskan untuk berterus terang kepada Genta. Memberi tahunya. Hari ini!
Sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Duduk di hadapannya, berpura-pura membaca deretan menu padahal otakku sibuk dengan rangkaian kata yang sudah aku hafalkan sejak kemarin. Sekarang semuanya lenyap, secara Ajaib. Hilang ditelan bumi.
"Kita bisa pulang kalau kamu mau," kata Genta, tatapan matanya masih terarah ke buku menu.
"Hah ... pulang?" balasku tidak mengerti.
Dia menutup buku menu, lalu meletakkannya ke meja. "Sedari tadi kamu terlihat gelisah," kedua alisnya berkerut, dia memberikan tatapan bak seorang bapak yang tahu anaknya sedang berbohong.
"Nggak ... nggak, aku baik-baik saja kok."
Aku sangat tidak baik-baik saja.
"Kamu siap mau pesan?" tanyaku asal, padahal aku tidak tahu mau memesan apa. Mungkin nasi goreng saja. Oh shit! Kita berada di restoran Italia.
"Yep!" tangannya melambai ke arah pelayan yang berdiri tidak jauh dari kami. Si Embak dengan senyum ramah melangkah ke arah kami.
"Aku bertemu dengan Bapaknya Agni," semburku cepat.
"What?" wajah Genta tampak bingung? Kaget? Tidak mengerti? Entahlah. Semuanya bercampur menjadi satu.
"Selamat malam. Sudah siap untuk memesan?" sapa si Embak waiter dengan ramah.
Aku tidak memperdulikannya. Kami tidak memperdulikannya. Aku terlalu sibuk mengatur detak jantung yang mulai berdentum tidak normal, mengantisipasi reaksi Genta selanjutnya. Sedangkan Genta masih menatapku dengan ekspresi yang tidak aku ketahui.
"Bapaknya Agni?" tanya Genta setelah dia berhasil mengambil kembali kesadarannya.
Aku mengangguk.
"Maksud kamu orang yang ...," dia menelan ludah. "Bapaknya Agni," dua kata terakhir seperti dia tujukan ke diri sendiri.
Aku lagi-lagi mengangguk, sepertinya saat ini hanya itu bahasa yang aku mengerti.
"Mungkin Bapak dan Ibu masih membutuhkan waktu untuk memesan?" lagi-lagi kami tidak menghiraukan si embak pelayan. "Baik, kalau sudah siap bisa memanggil saya kembali." Si Embak melangkah pergi, aku yakin saat ini dia sedang sibuk merutuki kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...