36. Putus atau Tidak Putus

13.1K 1.2K 48
                                    

Coucou, Bonjour, selamat pagi pembaca Budiwati dan Budiman.

Dikarenakan senin saya undur diri tidak update, plus matahari pagi ini cetar membahana, saya update nih today.

Silahkan menikmati and see you again tuesday.

Xoxo

Asoka Biru

*******

"Putus sama Genta?!" teriak Mbak Rani dengan suara frekuensi tingkat tinggi.

Aku dengan cepat membungkam mulutnya, takut percakapan kami terdengar oleh Mami dan Bapak yang sedang bermain dengan para cucu di kebun belakang. Aku menyapukan pandangan berkeliling, memastikan bahwa pembicaraan super rahasia kami tidak menarik perhatian orang lain.

"Jangan kenceng-kenceng, nanti Mami sama Bapak denger."

"Gimana gue bisa nahan nggak bersuara kenceng, denger kamu putus sama Genta!"

"Aku belum putus Mbak, cuman mempertimbangkan opsi untuk putus!"

"Mempertimbangkan opsi putus situ sama salahnya. Seperti mempertimbangkan opsi untuk cerai!" Suara Mbak Rani terdengar galak. "Memang kenapa, kalian berantem?"

Aku menggeleng.

"Lalu?"

Aku menarik napas dalam, aku belum menceritakan masalah orang tua Genta ke siapapun. None! Mengingat kembali persoalan itu, seperti mengucurkan air cuka ke atas sebuah luka. Perihnya tuh di sini. Beneran.

"Orang tua Genta tidak setuju dengan aku," kataku lirih.

Mbak Rani terdiam sejenak. "Kamu sudah ketemu mereka."

Aku mengangguk, lalu menceritakan apa yang terjadi di rumah Genta. Mamanya yang sama sekali tidak menganggapku, termasuk si brengsek Indara yang menyatroni aku di kantor. Niatku untuk meninju wajah perempuan itu belum luntur sampai saat ini. Kalau sampai aku bertemu dengan dia lagi, bogem mentah bakalan siap melayang.

"Omaigad ...."

"Yah bener ... omaigad. Aku lagi mikir-mikir, buat nawarin cerita hidupku ke produser FTV. Kalau bisa difilmkan, minimal kan aku dapet keuntungan nggak cuman nyesek doang. Dan Dian Sastro yang harus memerankan diriku!"

"Genta gimana?"

Mbak Rani jelas-jelas tidak memperdulikan kemungkinan jalan hidupku yang difilmkan, atau Dian Sastro, serta kemungkinan aku menjadi tenar.

"Dia sudah beli apartemen di Dharmawangsa, dan berniat melamarku." Aku mencoba memutar ulang ucapan Genta, apa benar ada kata melamar? Apa ingatanku sudah layak untuk dipertanyakan. Sepertinya kemungkinan kedua yang lebih benar.

"Nah tuh. Terus apa yang menjadi masalahnya?"

Entahlah kakakku ini lupa apa yang baru saja aku ceritakan, atau dia tidak bisa melihat the bigger picture. "Orang tuanya nggak setuju dengan kami Mbak. Kalau kami married, itu berarti tanpa persetujuan mereka, yang berarti pula, kemungkinan Genta akan terbuang dari keluarganya."

"Terbuang. Mungkin. Temporary. Dan dia akan membuat keluarga baru, dengan kamu dan Agni, dan adik-adiknya Agni nanti."

"I don't know mbak. Aku nggak mau Genta terbuang dari keluarganya."

"Tari, trust me. Nggak bakalan ada orang tua yang tega membuang anaknya, kalaupun mereka nanti stop komunikasi, itu untuk sementara. Sooner or later komunikasi bakalan terjalin kembali. Lah, kamu kan contohnya."

Aku memutar bola mata. "Masalahnya lagi ...."

"Aduuh, banyak bener sih masalah kamu."

Aku melempar keripik kentang ke arah Mbak Rani, yang tertangkap dengan manis lalu segera meluncur ke mulutnya.

"Aku bertemu dengan Bapaknya Agni."

"Bapaknya Agni, maksud kamu, bule itu?"

Aku mengangguk.

Dagu Mbak Rani terjatuh, mulutnya kini membentuk huruf O besar.

"What?!" Aku terlonjak. Suara Mbak Rani mirip geledek di bulan desember.

"Sssttt ... pelan-pelan, bisa nggak sih."

"Gimana gue bisa pelan, loe ketemu cowok one night stand itu!"

Aku mengangguk.

"Bagaimana mungkin? Di mana dia sekarang? Dia tahu kalau ada Agni?"

"Satu-satu pertanyaannya."

"Gimana bisa satu-satu, lha kamu ketemu bapaknya Agni nggak cerita-cerita."

"Ini aku cerita, gimana sih?" Aku menarik napas. "Long story short. Gabriel, itu namanya. Dia tahu ada Agni, mereka sudah kayak lem dan kertas. Gabriel meminang aku menjadi pacarnya, dan sepertinya aku bisa belajar mencintai dia."

"What the F ...."

"Hey ... language!"

"Aku nggak nyumpah, cuman bilang F doang."

"Itu sama saja sudah nyumpah."

"Anyway, nggak penting. Gue nggak ngerti ini berkah atau musibah. Tunggu ... is he hot?"

Aku mengambil telepon seluler, mencari foto Gabriel dengan Agni yang ternyata banyak terekam oleh kamera handphone-ku. Menyodorkan handphone kea rah Mbak Rani.

"Tarriiiiii ... he is so damn hot! Lagi gendong Agni aja dia seksi gini, apalagi kalau –"

"Heh ... otak jangan kotor!"

Mbak Rani terkekeh kecil. "Gue nggak nyalahin kamu, kalau pengen putusan sama Genta."

"Bukan ituuu! Mbak Rani serius dikit deh. I love Genta, itu sebabnya aku nggak mau kalau dia ada masalah, apalagi terbuang dari orang tuanya. Dan Gabriel ... it seems like it's so easy with him, plus dia bapaknya Agni. Masalahnya aku takut mengambil keputusan yang salah."

Mbak Rani kini memasang tampang seorang kakak bijaksana nomor satu. "Tari, ikuti saja kata hatimu. Benar atau salah, yang terpenting kamu sudah mengikuti apa yang hati kecilmu katakan."

Perkataan Mbak Rani membuatku tercenung. Apakah aku tahu apa yang dikatakan hati kecilku? Meninggalkan Genta untuk Gabriel, apakah benar-benar bisikan sudut hati di dalam sana. Aku tidak tahu, bahkan saat ini aku sama sekali tidak tahu apakah aku masih waras atau tidak.

Aku memandang ke arah Agni yang sedang asik bermain dengan Bapak, apakah bersama dengan ayah kandungnya akan lebih baik untuk dia daripada dengan Genta? Seandainya tidak perlu ada hal-hal yang membuat pusing di dunia ini.

Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan pria yang membuatku hamil, walaupun bayangan bagaimana Agni tumbuh tanpa mengetahui siapa ayahnya, sangat membuatku takut. Kini pria itu ada di sini, tidak hanya hadir sebagai sosok ayah, tetapi adalah ayah yang sangat luar biasa. Gabriel terbukti sangat hands on terhadap Agni, walaupun mereka tidak tinggal bersama. Aku tahu, bertemu dengan sang Da-da setiap hari akan membuat Agni sangat bahagia.

Lalu bagaimana dengan Genta? Tidak ada yang salah dengan pria itu, dia juga sangat menyayangi Agni. Satu-satunya kekurangan adalah keluarganya. Mamanya. Tetapi itu bukan kesalahannya. Apakah akan adil dia menerima konsekuensi dari sesuatu yang bukan kesalahannya?

Tidak!

Tidak adil bagi pria itu untuk berada di posisinya sekarang. Genta adalah pria yang baik, dia berhak mendapatkan yang terbaik. 

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang