20. Twilight

15.2K 1.3K 12
                                    

Memang sudah berulang kali hadir di benakku kemungkinan bahwa aku tidak lagi akan bisa kembali dalam dunia dating, berpacaran apalagi mempunyai pasangan serius, tetapi tamparan kenyataan itu terasa lebih keras ketika aku menghadapinya sendiri. Seorang laki-laki yang detik sebelumnya bilang 'I really like you' berubah mematung begitu mengetahui keadaanku yang sebenarnya.

Genta. Aku baru mengenal nama itu selama beberapa hari, tetapi kehadirannya mampu membuat hangat relung dalam hatiku, menimbulkan secercah sinar, entah untuk apapun itu alasannya. Tetapi sinar itu redup seketika, terhantam oleh realita hidup.

So, this is me. Usia merangkak mendekati pertengahan tiga puluh, punya anak dan tanpa pendamping. Oh, mungkin tanpa masa depan untuk mempunyai pendamping.

"Mbak Tari."

Suara Mega mengagetkanku, dia berdiri di depan mejaku dengan buku catatan dan pulpen di tangan.

"Ya Mega," jawabku. Menata air muka supaya tampak normal.

"Saya sudah kirimkan laporan yang kemarin Mbak minta lewat e mail, ada beberapa perubahan pengiriman yang saya ingin diskusikan."

"Ok," aku segera mencari nama Mega dalam inbox e-mail, memberikan kode untuknya untuk duduk di sampingku. Lebih gampang menganalisa laporan itu ketika kami melihatnya bersama-sama.

"Mbak suntuk banget kelihatannya, Agni masih sakit?"

You see? Bahkan Mega-pun tahu kalau aku sedang tidak dalam mood baik.

"Nggak, sudah sembuh kok. Cuman kurang tidur aja," kilahku tidak meyakinkan. Aku membuka laporan file exel dari attachment e mail Mega.

"Btw Mbak, orang-orang pada ngomongin pengirim apel untuk Mbak Mega."

Hah?!

Sosok Genta tiba-tiba nongol di kepalaku, tanpa permisi apalagi mengetuk pintu. "Orang-orang siapa memang?" tanyaku kasual.

"Banyak orang. Sepertinya orang sekantor sibuk dengan berita bahwa Mbak Tari mendapatkan kiriman apel dari cowok ... ganteng."

Yep! Resiko bekerja di kantor dengan mayoritas cewek, gosip beredar melebihi kecepatan network 5G.

Aku hanya tersenyum merespon ucapan Mega. Aku sudah terlatih untuk tidak mengindahkan gosip apapun, termasuk gunjingan tentang si pengirim apel ini. Lagi pula, tidak ada yang harus aku pikirkan lebih lanjut tentang si pengirim apel itu. Kisah itu kalaupun hampir sempat terbentuk, terhenti saat ini juga.

Thanks to pekerjaanku yang menumpuk, hari ini aku lewatkan tanpa memikirkan sedikitpun tentang apel ataupun pengirimnya. They are gone, totally gone. Aku merapikan meja dengan cepat, bersiap-siap untuk pulang. Pada periode AA (after Agni) aku selalu mencoba untuk pulang dari kantor sebelum jam enam sore, berbeda dengan periode BA (before Agni) di mana aku cukup sering berada di kantor sampai larut. Beberapa kolega tampak bersiap-siap untuk hangout jumat malam, sedangkan aku akan menghabiskan jumat malam di rumah bersama Agni. Mungkin hari ini aku bisa menonton Bridget Jones diary, sambil menyanyikan all by my self keras-keras. Sepertinya tidak terdengar begitu menyedihkan.

This is me now di hari jumat sore, hanya ada rumah yang dituju. Is not bad, not that bad. Gooosshh I miss clubbing!

Lift mengeluarkan denting nyaring, menandakan kotak kecil yang akan membawaku turun ke lobi gedung sudah sampai di lantai ini. Aku menarik napas berat. Bridget Jones, here I come.

Pintu lift terbuka dan aku menemukan sosok yang tidak pernah aku harapkan bakalan berada di sana, tidak dalam pikiran terliarku yang selalu dipenuhi dengan adegan picisan filem romcom.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang