31. Kabut

12.4K 1.3K 37
                                    

Kami sama-sama terdiam selama perjalanan kembali ke apartemenku, sibuk mencerna kejadian yang baru saja menjadi bagian dari kehidupan kami. Kehidupanku.

Aku tersentak ketika Genta meraih tanganku, mataku memandang jemari kami yang kini bertautan.

"Maafkan aku," katanya.

"Kamu tidak berbuat satu kesalahanpun." Yang ada dia selalu melindungiku selama berada di kediaman orang tuanya. Genggamannya tidak pernah lepas dari tanganku.

"Maafkan aku, karena kamu harus mengalami hal itu." Ada getir teramat sangat dari nada suaranya.

Aku menelan ludah. Yang baru saja, memang tidak pernah terlintas di dalam pikiranku. Tidak dalam bayangan terliar ku sekalipun. Walaupun pahit, aku mengerti keengganan Ibunda Genta untuk menerimaku, tetapi aku tidak pernah membayangkan beliau mengundang wanita lain di saat kedatanganku ke sana.

"Aku tidak tahu ada Indara di sana," sambungnya.

Aku tidak menanggapinya, membuang pandanganku ke arah luar, ke arah ruwetnya lalu lintas Jakarta, seperti ruwetnya kehidupanku sekarang.

"Aku ... sangat berhati-hati ketika memberi tahu tentang kamu ke kedua orang tuaku. Tapi aku tidak pernah berpikir Mama akan sampai seperti ini."

Mataku kembali memanas. Tidak akan pernah mudah untuk orang seperti aku, juga untuk masuk ke dalam keluarga Genta. Dua jam yang lalu, harapanku membumbung tinggi, sekarang lenyap, aku bahkan tidak tahu bagaimana masa depan kami kedepannya.

Genta cukup tahu untuk tidak mengusikku terlalu banyak, kami sama-sama terdiam ketika sampai di apartemen. Aku membenamkan diriku di kenyamanan bernama diam.

Kami baru saja melangkah memasuki lobi, ketika aku melihat sosok yang sudah sangat terbiasa dengan mataku. Gabriel.

"Da – da," perhatianku tercabik oleh suara mungil dalam gendonganku. Apa dia baru saja berkata Da-da? Daddy? Kata pertamanya?

Agni meronta untuk turun, aku melepaskannya, lalu dengan langkah mungil satu persatu dia berjalan ke arah Gabriel.

Pria itu berjongkok, kedua tangannya terentang lebar, menanti Agni dengan langkah-langkah mungilnya. Wajahnya dipenuhi dengan cahaya kegembiraan.

"Hello Princess!" Dia merengkuh tubuh kecil Agni ke dalam pelukannya, menghujani bocah itu dengan ciuman. "Did you just call me Da-da?"

"Da-da," Agni membeo.

"Did she just call me Dada?" tanya Gabriel penuh semangat.

"She did. Her first word!" kataku tidak kalah semangat. Putri kecilku baru saja mengucapkan kata pertamanya. Aku berjalan menghampiri mereka, "yes, it's Da-da." Aku mengelus rambut Agni, dia masih terkikik dan berkali-kali berkata Da-da.

Lalu aku tersadar, ada orang lain di tempat ini. Aku menoleh, menemukan Genta berdiri, membeku, wajahnya memandang ke arah kami dengan ekspresi yang tidak bisa aku baca.

Shit!

Aku berjalan mendekati Genta. "Gabriel, can I introduce you to my ...," aku menelan ludah, "my boyfriend. Genta" Entah apakah masih akan ada kata bernama boyfriend untuk kami kedepannya.

Gabriel mengalihkan perhatiannya dari Agni, menatap Genta dengan seksama. "Hi. Gabriel. Nice to meet you, I heard a lot about you."

Dia menerima jabat tangan Gabriel dengan keraguan. "Hi. Genta," jawabnya singkat.

Hening.

Ada ketegangan dalam sorot mata Genta, aku berdiri dengan gelisah, hanya Gabriel yang terlihat rileks, wajahnya dipenuhi kegembiraan.

"Tari, sepertinya ... lebih baik aku pergi," kata Genta.

"Genta ...,"

"No, man. I will go, sorry I came without notice," kata Gabriel hampir bersamaan denganku.

Genta jelas-jelas tidak mengindahkannya, perhatiannya tertuju kepadaku, mencari sesuatu dariku. Aku ingin menahannya, tetapi sisi lain hatiku menginginkan kesendirian, setelah kejadian yang baru saja dengan keluarganya, aku hanya ingin diam. Paling tidak ingin menjauh sejenak darinya.

"Baik. Aku pergi kalau begitu." Ada getir kekalahan dalam suaranya. "Om Genta pergi dulu ya sayang." Dia mengelus kepala Agni, menciumnya lalu pergi meninggalkan kami.

Aku menatap punggung Genta, masa depan kami seperti menjauh seiring dengan ayunan langkahnya.

"Ada masalah?" tanya Gabriel ketika kami memasuki ruangan apartemenku.

"Nggak ada," jawabku pendek. Aku sengaja menghindari sorot matanya, takut dia akan berhasil menemukan jejak kegalauan di wajahku.

"Aku memang baru saja bertemu dengan laki-laki itu, tapi aku bisa merasakan ketegangan diantara kalian. Kamu berantem?"

"Nope."

"Ok, memang bukan urusanku. Asal kamu tahu saja, aku akan selalu ada di sini kalau kamu ingin bercerita."

Aku menoleh ke arahnya, pria yang adalah ayah dari putri kecilku, laki-laki yang aku cium penuh semangat beberapa hari yang lalu. Bayangan Genta melintas di kepalaku, hubungan kami yang tidak jelas masa depannya.

"No, I don't want to see that cloudy face." Dia menurunkan Agni dari gendongannya, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya.

Di dalam hangat dada Gabriel, air mata yang sedari tadi aku tahan tumpah. Aku membiarkan diriku menangis di dalam pelukan laki-laki itu, membuka semua keran yang sedari tadi menyumbat dadaku, membiarkan semua perih mengalir seiring dengan derasnya air mataku.

"What happened?" suara Gabriel terdengar lembut, penuh kesejukan.

Aku menggelengkan kepala, tidak siap untuk bercerita. Lagipula, aku tidak ingin membagi ceritaku bersama Genta ke Gabriel. Ini adalah masalah kami, tidak ada hubungannya dengan Gabriel.

"Ok, you don't have to tell me." Dia menepuk punggungku dengan lembut, ada ketenangan mengalir seiring dengan setiap tepuk lembut tangannya.

Gabriel mengangkat wajahku, mengeringkan air mata dengan sapu tangannya. Dia menatapku lembut. Sapuan lembut tangannya memberikan getar hangat di wajahku. Betapa ini sangat mudah, aku dan Gabriel, lagi pula dia adalah ayah dari puteriku. Puteri kami.

Aku menatap kedua samudera biru itu. Sangat teduh. Seolah mengundangku untuk berbaring di sana, melepaskan semua sesak yang menyumbat perih dadaku. Perlahan wajah kami mendekat, hangat napas kami bertautan, ditumpangi deru detak jantung kami yang semakin cepat. Lalu dia memagut bibirku, aku membiarkannya. Membiarkan hangat bibirnya menjelajah ke setiap mili sudut bibirku, mulutku terbuka, mengundang lidahnya untuk masuk bertemu dengan lidahku yang menanti di sana. Ini begitu mudah. Aku dan Gabriel.

Mungkin karena kekesalanku, rasa marahku, tetapi aku membiarkan bibirku berpagut dengan lembut bibir Gabriel. Menikmatinya, walaupun aku tahu semua ini tidak benar.

Gabriel melepaskan tautan bibir kami, memberi sedikit ruang di antara wajah kami untuk saling menatap. Mata biru itu begitu lembut, terasa sangat dekat dan nyaman.

"Tari ...," suaranya hampir terdengar seperti desahan. Begitu memabukkan.

Aku membuka bibirku kembali, bersiap untuk berenang di dalam samudra penuh nikmat tersebut, ketika suara kecil Agni menghempaskan kami ke alam sadar.

"Da-da ...."

"Hi Princes," Gabriel berjongkok, menerima blok segiempat kecil yang diulurkan oleh Agni.

Aku menghirup napas dalam, memompakan udara dan juga kesadaran ke dalam tubuhku. Apa yang sudah aku lakukan, semakin membenamkan diri ke dalam jurang bernama perselingkuhan. Aku mundur, menjauhi Gabriel yang kini memberikan tatapan penuh pengharapan. Tidak, aku tidak bisa melakukan ini, walaupun masa depanku dengan Genta semakin kabur dan tak berwujud.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang