39. The Wedding and The Plan

18.1K 1.2K 92
                                    

"Jadi saya harus ulangi lagi?"

"Iya Mbak. Minta surat ke RW, kelurahan dan catatan sipil lagi, nanti kami akan proses untuk translate dan langsung dikirim untuk legalisir di kementrian luar negeri dan kementerian hukum dan HAM."

Aku mengurut pelipis. Pening. Si Embak, aka agen yang aku percayakan untuk mengurus surat menyurat untuk urusan pernikahanku ternyata salah. Tiga lembar kertas yang aku minta dari tempat berbeda-beda, telah diterjemahkan oleh translator tersumpah itu salah! Sekarang dia memintaku untuk memulai dari awal lagi. Menghadap Pak RW, kemudian bertemu lurah dan kembali ke kantor catatan sipil. Seperti aku mempunyai all the time in the world saja.

Urusan pernikahan beda negara ini membuatku pusing. Keperluan surat menyurat yang berjibun dan harus bercap dari dua kementerian berbeda. Mungkin lebih baik aku nikah siri saja, tinggal panggil penghulu dan selesai, tidak harus dipusingkan oleh surat menyurat ini.

"Setelah tiga surat itu beres, nanti gampang kok Mbak prosesnya," si Embak agen seperti mengetahui kegalauan hatiku.

"Minggu depan saya kasih lagi surat menyurat yang baru." Aku tidak tahu kapan aku bisa mempunyai waktu untuk jalan-jalan mengunjungi Pak RW dan kerabatnya.

Aku menerima lamaran Gabriel. Tentu saja. It's the right thing to do. Dia adalah Bapaknya Agni, baik dan jangan lupa, gantengnya menyaingi George Clooney. Lagi pula, itu dulu yang aku katakan ke Genta ketika aku putus dengannya. Aku akan menikah dengan Gabriel.

Genta.

Bagaimana kabar pria itu sekarang. Aku tidak pernah mendengar kabar apapun darinya. Entah sudah berapa kali aku hendak mengirimkan pesan. Sekedar bertanya apa kabar, tetapi selalu aku urungkan. Mungkin dia tidak mau mendapatkan pesan dariku, atau dia tidak mau berurusan denganku lagi. Sudah menjadi haknya. Toh akulah si algojo itu.

Aku selalu memberikan kemungkinan bahwa sekarang dia sudah bahagia. Mungkin dengan si Indara brengsek itu.

Aku menyumpalkan kertas-kertas dari Pak RW dan Pak lurah yang kini tidak berharga itu ke dalam tas. Tidak seharusnya aku memikirkan Genta lagi, ada banyak hal yang harus aku urus, dan yang berada di posisi teratas adalah pernikahanku, yang hanya tinggal beberapa minggu lagi.

Aku hanya menginginkan pernihkahan sederhana, keluarga kami dan juga keluarga Gabriel yang sudah siap terbang dari Italy. Tetapi tentu saja Mami mempunyai pemikiran lain.

"Ini terakhir kali Mami akan mantu, nggak bisa cuman keluarga saja!" kata Mami dengan kepastian yang final.

Jadilah sekarang, pernikahan yang menurutku cukup dihadiri 20 orang itu, akan dihadiri lebih dari 200 orang! Itu belum termasuk rekan kerjaku, yang secara ajaib sudah mengetahui jadwal pernikahan kami, sebelum undangan tersebar.

Lalu rekan kerja Gabriel, entah dari mana mereka tahu rencana pernikahan kami tetapi mereka tahu. Mungkin semua orang tahu! Tidak jarang aku melihat beberapa perempuan berbisik ketika berpapasan denganku di lobi, ketika aku melirik kartu nama yang tergantung di dada mereka, tentu saja mereka adalah pegawai tempat Gabriel bekerja.

Great!

Mungkin sekarang seluruh gedung sudah tahu aku bakal menikah. Ok, sepertinya itu terlalu berlebihan.

*

Mami dan Mbak Rani berdiskusi dengan dua orang yang aku ketahui adalah pihak wedding organizer dengan tingkat keseriusan seperti sedang membahas revisi UUD 45. Aku melirik jam di tangan, baru jam 8.15 menit, di hari sabtu pagi. Entah kenapa dua orang ini mau-maunya datang sepagi ini di saat weekend, demi membahas pernikahan orang lain. Tetapi aku langsung ingat, bahwa itu adalah pekerjaan mereka.

"Tari ... akhirnya kamu bangun juga," suara Mami terdengar tinggi dan ceria. "Sini, kamu harus lihat rangkaian detail acaranya."

"Mmmm ... Tari mau bikin kopi dulu Mih." Mataku celingukan mencari keberadaan Agni, aku tidak melihatnya, pun tidak mendengar celoteh suaranya.

"Sebenernya yang mau nikah kamu apa Mami sih?" Mbak Rani menimpali.

Itu juga pertanyaanku. Aku yang akan menikah, tetapi sepertinya aku mempunyai zero kuasa di dalam acara pernikahanku sendiri.

"Aku cuman akan menjadi body double aja nanti." Aku ngeloyor ke dapur, isu pernikahan sebelum aku menemukan kafein, membuat kepala jadi pusing.

"Jangan lupa hari ini kalian jadwal fitting!" teriak Mbak Rani.

Aku mematung. Mencoba mengingat-ingat apakah jadwal fitting pernah masuk dalam otakku. Aku tidak menemukan detail sekecil apapun yang berhubungan dengan baju pengantin.

"Memang hari ini?"

Mbak Rani memberikan tatapan mustahil. "Kamu ini, calon pengantin yang paling malas. Pengantin lain sibuk ngurusin pernikahannya sendiri, lha kamu malah lupa jadwal fitting." Dia memutar bola matanya. "Gabriel sudah tahu?"

"Memang dia perlu fitting juga? Dia bisa pake jasnya sendiri, dia punya koleksi berjibun berbagai warna."

"Tari ... kalian ini mau menikah. Bukan mau menghadiri resepsi pernikahan." Kali ini Mami terdengar tidak sabar.

Apakah aku memang terlalu rileks? Sampai saat ini aku memang belum mendapatkan euphoria 'mau menikah'. Belum. Atau tidak akan pernah.

Maksudku, aku akan menikah. Setelah hari itu, aku akan membagi hidupku dengan orang lain. Berdampingan, for better or for worse. Sampai mati. Sudah bukan diragukan lagi, itu adalah sesuatu yang besar. Ginormous besar. Seperti dinosaurus besar. Yes, seperti itu. Tetapi kenapa tidak ada semangat untuk menanti hari itu?

Aku mencari-cari telepon seluler yang entah di mana. Setelah aku menemukannya, terdapat tiga miscall dan beberapa pesan. Semuanya dari Gabriel. Tanpa aku sadari aku berharap salah satu pesan itu dari Genta. Bohong! Setiap kali ada pesan masuk, aku selalu berharap itu dari Genta. Harapan yang selalu sia-sia.

Aku membuka pesan dari Gabriel, dia menanyakan jam berapa dia harus menjemputku untuk fitting.

See, bahkan Gabriel pun tahu hari ini ada jadwal fitting. Kenapa aku tidak sesemangat Mami, atau Mbak Rani menantikan pesta pernikahanku sendiri. Apa yang salah dengan diriku?

Gabriel datang lebih awal untuk menjemputku. Wajahnya berseri bak mentari pagi, sinar yang akan mampu membawa kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. Bagi diriku. Tetapi ... entahlah, kenapa terasa ada yang kurang dari hangat ini. Serasa bukan sesuatu yang tepat untukku, ada yang tidak pas. Seperti anak kunci yang tidak cocok dengan lubangnya.

Aku memandang Gabriel yang sedang berbincang akrab dengan Bapak. Mereka belum lama bertemu, tetapi Gabriel adalah sosok yang supel. Sangat likeable, termasuk bagi keluargaku. Dia tidak menemukan kesulitan untuk menggantikan tempat yang dahulu diisi oleh Genta.

Genta. Nama itu lagi. Kenapa dia selalu muncul di kepalaku.

"Are you ready to go?" suara Gabriel mengagetkanku.

"Yep! E hem."

Dia meneliti wajahku. "Are you ok?"

Aku tertegun. Am I ok? "Ya. Aku baik-baik saja."

Aku berjalan untuk mengambil tas, mendapati Gabriel masih memberikan tatapan meneliti ketika aku kembali.

"You don't look ok."

"I am. 100% ok! Let's go!"

Sejujurnya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang