Aku memandangi wajah putriku yang masih tertidur, tangan mungilnya menggenggam boneka kelinci berwarna pink. Benda kesayangan yang selalu menemani tidurnya, benda keramat lebih tepatnya, karena dia tidak akan bisa tertidur tanpa kelinci pink itu berada di sisinya. Si kelinci yang selalu mengikuti kemanapun kami pergi, beberapa kali aku harus memutar mobil kembali ke apartemen karena kelupaan memasukkan benda mungil itu ke dalam tas ketika kami pergi. Demamnya sudah turun tadi pagi, kini wajah mungil itu dipenuhi oleh keringat. Keringat yang membuatku merasa lega.
Diah datang lebih pagi, tahu aku sangat membutuhkannya di saat krisis seperti ini. Aku keluar dari kamar Agni, berjalan ke arah dapur mungil yang hanya dibatasi oleh meja bar untuk memisahkannya dengan ruangan yang aku sebut sebagai ruangan tamu. Mengambil mug berwarna merah tua lalu menyeruput isinya. 'I wish you are coffee', gerutuku dalam hati. Aku memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi minuman nikmat nan seksi pembangkit energi tersebut semenjak mengetahui aku hamil. sampai sekarang aku masih bertahan untuk berpuasa darinya, walaupun setiap mencium aroma kopi aku hampir pingsan dibuatnya.
Sepi menjadi suasana yang sangat langka untukku sekarang, makanya aku sangat menikmati momen sunyi seperti ini walaupun biasanya hanya berlangsung beberapa menit. Biasanya apartemen mungil ini akan dipenuhi oleh celoteh Agni setiap saat. Tanpa mengenal waktu. Tapi pagi ini, dia tertidur dengan tenang.
Namun sepertinya ketenangan memang tidak berpihak kepadaku, telepon dinding yang menyambungkan apartemen ini dengan lobi di bawah berdering. Aku mendesah, merutuki suara yang merusak ketenangan pagiku.
"Selamat pagi," sapaku ramah, walaupun dalam hati aku merutuk.
"Pagi Mbak Tari, ada tamu yang menunggu di bawah," suara satpam dari lobby.
Keningku berkerut. Aku tidak mengharapkan ada tamu sepagi ini, kalau itu Mbak Rani atau Heidy, satpam di bawah sudah dengan pasti akan langsung memberikan akses ke atas. Mereka aku kategorikan sebagai orang-orang yang bebas untuk datang sewaktu-waktu.
"Siapa Pak?" tanyaku penasaran.
"Pak Genta, Mbak."
Genta? Aku memutar otak, mengingat ingat adakan nama Genta dalam daftar orang yang aku kenal.
Nihil!
Aku melirik jam di pergelangan tanganku, hampir menunjukkan angka delapan tiga puluh. "Saya turun ke bawah, Pak."
Meletakkan mug merah tua ke dalam wastafel, lalu menyambar tas yang sudah bertengger manis di meja. Siapapun Genta ini, aku bisa menemuinya sembari berangkat ke kantor.
Aku membuka pintu kaca yang membatasi hall tempat beberapa lift berada dan area lobi. Pak Suparman, satpam favoritku menyambut dengan senyum ramah.
"Pagi, Mbak Tari," sapanya sambil tersenyum. Menampilkan deretan gigi putih menawan, aku tidak yakin gajinya sebagai satpam bisa menutupi biaya dokter gigi, dia pasti dikaruniai dengan gigi indah tanpa cela semenjak lahir.
"Pagi Pak," sahutku. Pandangan mataku menyapu ke arah lobby yang tampak sepi, lalu aku menemukan seorang laki-laki jangkung dan tegap berdiri di sudut ruangan.
Do I know him from somewhere? Aku memerintahkan otakku untuk bekerja, mengingat wajah yang sepertinya tampak cukup familiar itu. Sia-sia! Otakku sangat jelas masih mengantuk menolak untuk bekerja, kembali menarik selimut dan tidur. Aku tidak bisa mengenali pria yang sedang berdiri dengan dua paper cup di tangannya.
Pria itu menarik bibirnya ke arah luar, membentuk senyum yang cukup menawan. Ok, sangat menawan. Dia berjalan menghampiriku yang masih berdiri di tempat.
"Hai, selamat pagi!" sapanya dengan riang.
Aku memandangi wajah yang sekarang hanya berjarak satu meter di depanku, masih tidak bisa mengenali siapa gerangan orang ini. "Pa-gi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...