13. Keputusan Terbesar

17.1K 1.5K 7
                                    

Ruangan ini tampak muram. Lantai, dinding dan plafon semuanya berwarna putih, dengan lampu neon yang terlalu terang, hampir menyilaukan mata. Tetapi pancaran lampu LED puluhan watt itu tidak bisa menyembunyikan kesan muram pada ruangan ini, pada tempat ini.

Suasana sangat sunyi, terlalu sunyi. Hanya terdengar suara sol-sol sepatu dari para perawat yang kadang lewat, selain itu tidak ada. Tidak helaan napas beberapa orang yang duduk di ruangan ini, atau bahkan dengung menyebalkan dari nyamuk yang suka mengganggu. Kesunyian yang sangat aneh, tidak bersahabat.

Aku menyapu ruangan dengan ekor mata, ada beberapa orang duduk di ruangan ini. kebanyakan perempuan, hanya ada satu laki-laki yang lebih mirip seperti remaja, duduk disamping seorang wanita dengan paras tidak kalah muda. Aku yakin mereka belum lepas dari bangku SMA, berada di tempat ini, mengambil tindakan atas aksi mereka yang sama seperti aku. Ceroboh.

Mbak Rani duduk di sampingku. Tangannya memegang telepon genggam, menyapu layarnya dengan cepat. Apapun yang berada di layar itu, sudah jelas tidak berhasil mendapatkan kesempatan untuk menarik perhatian kakakku. Ujung stiletto-nya yang runcing mengetuk-ketuk lantai dengan cepat, tidak menimbulkan suara, tetapi gerakannya menambah kusut pikiranku yang sudah ruwet dan bundet. Aku meletakkan salah satu tangan di paha Mbak Rani, memberikan sedikit tenaga untuk mengentikan gerakan pahanya yang naik turun. Mbak Rani menoleh ke arahku, memberikan senyum lemah, tidak berhasil menutupi kegusaran hatinya.

"Mbak Rani tahu tempat ini dari mana?" bisikku.

"Dari relasi, aku nggak bisa sebut namanya," bisik Mbak Rani.

Aku terdiam, memikirkan apa yang akan mereka lalukan terhadapku nanti. Jujur aku belum sempat, atau lebih tepatnya tidak tahu proses menggugurkan kandungan. Apakah mereka akan memberiku obat, atau melakukan operasi, atau akan ada alat yang masuk ..., aku tidak berani melanjutkan pikiranku. Bulu kuduk merinding menghadapi kenyataan bahwa aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi sebentar lagi.

"Apa ... apa akan aman, Mbak," tanyaku, menelan ludah. Ketakutan menyambangiku dari atas sampai ke bawah, membuat kedua kakiku terasa lemas seperti tanpa ada tulang belulang menyangga di sana.

Mbak Rani menatapku, menyunggingkan senyum yang terlihat sangat jelas dipaksakan. "Kamu akan baik-baik saja," dia meletakkan tangannya di atas tanganku, lalu menggenggamnya dengan erat.

Aku akan baik-baik saja. Mantra itu sudah aku rapalkan beratus kali di dalam kepala, besok, semuanya akan kembali normal. Dan ini semua akan terasa seperti mimpi, mimpi buruk, aku akan terbangun dan semuanya baik-baik saja. Kembali menjalani karir baru, menempati apartemen baru dan berpetualang untuk menemukan hal-hal baru lainnya.

Tanpa sadar pandanganku jatuh ke atas perutku yang masih rata, dalam balutan dress pas badan berwarna abu-abu, tidak akan ada yang menyangka bahwa sebuah janin telah tumbuh di sana. Janin yang mungkin saat ini beru sebesar kacang, janin yang tidak pernah minta dihadirkan di dunia ini, tetapi aku dengan kejam akan mengakhiri hidupnya disaat dia masih belum bisa berkata apa-apa. Aku, ibu dari janin tanpa dosa ini.

Kekejaman apa yang melebihi dari seorang ibu yang tega mengakhiri hidup dari darah dagingnya sendiri?

Keringat dingin satu demi satu bermunculan di ujung dahi, badanku gemetar. Siapa aku ini? Siapa aku nanti? Seorang pembunuh? Ibu pembunuh anaknya? Benarkah hidupku akan kembali menjadi normal setelah ini? Apa yang memberiku hak untuk mengakhiri hidup janin dalam kandunganku ini?

Udara terasa sangat padat di sekelilingku, membuatku sesak. Aku menghirup napas pendek-pendek, mencoba memompakan oksigen ke dalam paru-paru yang terasa kosong tanpa isi, namun sia-sia. Komposisi penyangga hidup itu seperti menolak untuk masuk ke dalam rongga hidungku.

"Tari ...."

Suara Mbak Rani menggunggah kesadaran. Aku menoleh ke arahnya, masih dengan napas tersengal.

"Ada apa?"

Aku menggeleng. "Aku nggak bisa Mbak ... nggak bisa!" Dengan sisa-sisa tenaga aku berdiri, menyeret kedua kaki yang terasa tanpa daya untuk keluar dari ruangan ini. Dari tempat ini, aku tidak bisa, aku tidak akan menjadi pembunuh dari anakku sendiri.

"Tari ...."

Mbak Rani menjejeri langkahku yang tergesa. Aku memandang sekeliling, mencari tahu di mana kami berada. Aku seperti kehilangan orientasi waktu dan tempat, sepertinya aku sudah berjalan lama, berpuluh-puluh kilometer, ternyata aku masih berada di depan klinik.

"Tari ...," suara Mbak Rani terdengar lemah, sorot matanya tampak sayu, dia mengambil salah satu tanganku lalu menggenggamnya.

"Aku nggak bisa mbak," aku menggeleng. "Aku nggak bisa membunuh anakku sendiri."

"Oh Tari ...," dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk lembut punggungku. Aku mencoba mengatur napas, menyeka pipiku yang mulai basah. "Aku di sini, aku akan selalu ada di sini," kata Mbak Rani dengan nada menentramkan. Sesuatu yang sangat aku butuhkan saat ini.

Aku menarik tubuh dari pelukan Mbak Rani, memandang kakak semata wayangku yang sedang menatapku penuh kasih. "Aku nggak tau mau ngapain nanti Mbak, tapi aku nggak mau ... nggugurin ini," suaraku tercekat.

"Sssttt ... kamu tidak perlu berpikir apa yang harus kamu lakukan nanti atau besok. Sekarang kita pulang, kamu istirahat. Itu yang kamu butuhin sekarang." Dia menuntunku menuju mobil yang terparkir tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri.

*

Aku membuka mata, sorot matahari pagi menerobos celah tirai di dalam kamar tidurku, memberikan semburat lurus sinar keemasan di salah satu sudut tempat tidur. Aku menghirup udara yang mulai terasa lebih familiar. Bayangan ruangan berwarna putih dan muram itu kembali terlintas, bukan mimpi, tentu saja. Aku duduk di ruangan itu kemarin, entah kegilaan apa yang membawaku ke sana. Tidak, aku tidak akan pernah melakukannya lagi. Tanganku meraba perut yang masih datar, 'untukmu. I promise!'

Hari ini, tekadku terasa lebih bulat dari kemarin. Aku akan meneruskan kandungan ini, aku akan melihat bayi yang sekarang sedang tumbuh di dalam perutku dan membesarkannya. Tanpa seorang ayah, suami. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalaninya, tetapi aku akan melakukannya. Demi kamu.

Aku akan menjalani hari senormal mungkin mulai hari ini, walaupun tentu saja tidak akan ada yang normal disaat kamu hamil diluar nikah dan tidak tahu di mana lelaki yang sudah menghamilimu. Lalu ada Mami dan Bapak ....

Crap!

Bagaimana aku bisa menyampaikan ini kepada mereka berdua. Tentu saja aku tidak bisa menutupi kehamilan ini terus menerus, walaupun terlintas di kepalaku untuk menyamarkan perutku dengan baju-baju longgar. Lalu aku akan berpura-pura pergi liburan, atau mungkin bisnis trip ketika anakku lahir, dan memberikan kabar bahwa aku mengadopsi bayi dari panti asuhan. Kemudian aku tersadar bahwa kemungkinan sukses rencanaku mungkin hanya satu persen. Bukan pilihan bijaksana.

Menyeret langkah menuju dapur, menemukan stiker berwarna pink tertempel di kulkas 'jangan lupa sarapan'. Dari Mbak Rani.

Di meja dapur sudah terjejer rapi sekatung roti tawar dan buah-buahan yang tertata rapi di mangkuk kayu. Aku mengambil sebuah apel lalu menggigitnya, ini adalah hidupku sekarang, single dan hamil. Aku akan menghadapinya. Aku bisa!

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang