7. I Come in Peace

19K 1.5K 9
                                    

Mataku fokus ke orang yang sedang berbicara di depanku, wajahnya tampak bebas dari kerutan, aku yakin usianya di atas lima puluhan tetapi bagaimana mungkin tidak ada garis-garis kerut yang tertera di wajah itu? Aku seperti sedang berhadapan dengan salah satu aktor korea yang selalu sukses membuat beberapa staf wanita di kantor ini kekurangan tidur dan staf pria geleng-geleng kepala karena kalah saing. Mungkin dia memang mantan aktor korea, merasa hidupnya kurang menantang lalu banting setir menjadi petinggi perusahaan garment, salah satu mitra kerja terbesar untuk woman line, departemen yang sekarang aku pimpin.

Dia masih berbicara dengan nada suara tenang tertata, aku bisa mendengar aksen korea di sela-sela bahasa Inggrisnya yang sempurna. Andy Oh, pria lima puluh tahunan yang terlihat seperti cowok trendi berusia awal tigapuluh tahun. Sekarang aku percaya dengan industri make over di korea, dokter-dokter bedah plastik di sana mungkin mempunyai tongkat sakti ala Harry Potter, bisa merubah wajah berbagai bentuk menjadi menarik dan terlebih penting lagi, muda. Mungkin aku harus bertanya siapa nama dokter bedah plastiknya, siapa tahu aku akan membutuhkan, lima atau sepuluh tahun mendatang. Tanpa sadar aku menempelkan jemari ke sudut bibir, mengingat-ingat apakah sudah mulai tampak kerutan di sana ketika aku bercermin tadi pagi. Berada di hadapan pria berusia di atas setengah abad dengan wajah licin bak porselen ini, membuatku sedikit insecure.

"... we have discussed internally before you call us into the meeting, and this is our new proposal for next week shipment."

Aku kembali ke realita, otakku yang tadinya melayang-layang di dunia bedah plastik sekarang kembali menjejakkan kakinya dengan mulus di tanah. Andy Oh menyodorkan lembaran kertas yang berisikan angka-angka proposal, alasan kenapa dia harus berada di kantor ini satu minggu lebih awal dari jadwal yang sudah diatur sebelumnya.

Seharusnya kami akan bertemu minggu depan, sebagai salah satu mitra bisnis paling besar Doosun Busana Abadi, perusahaan garment di mana Andy Oh memegang tampuk kursi direktur utama akan mendapatkan jadwal pertama untuk aku kunjungi. Bukan berarti aku belum pernah mengunjungi pabrik garment yang mempunyai lokasi di tiga kota berbeda itu, tetapi aku harus berkunjung sebagai kapasitas yang baru sekarang, seorang business manager.

Aku meneliti proposal yang tertera di dalam kertas itu, angka-angka itu sekarang tampak lebih menggembirakan dari situasi kemarin, berseri-seri seperti mentari di pagi hari. Empat tahun lalu aku harus berdiskusi setengah mati, melobi ke sana dan ke sini untuk memecahkan situasi seperti ini, sekarang aku hanya perlu mengangkat telepon dan ta daaa, keesokan harinya dunia tampak indah kembali. Dari kemungkinan keterlambatan yang enam puluh persen kemarin, sekarang hanya tinggal sepuluh persen saja. Sesuatu yang masih bisa kami terima dengan senyum mengembang di wajah. Bukan berarti kami senang akan keterlambatan tetapi usaha mitra kerja untuk memberikan performa yang terbaik penting untuk di apresiasi.

Menggeser lembaran kertas tersebut ke arah Mega, wajahnya langsung bersinar seperti anak lima tahun mendapat permen loli. Aku manggut-manggut, memandang ke Andy Oh yang sekarang menebar senyum menawan. Mungkin memang sudah saatnya aku mulai menonton drama korea, untuk memperluas wawasan. Aku dengar para kolega wanita di sini suka menyebut nama Lee Min Ho? I wonder who that is.

"This looks good Andy," aku menebarkan senyum iklan pasta gigi, untuk mengimbangi si lelaki korea yang menebar senyum sedari tadi.

Rapat kami berlangsung singkat, padat dan memuaskan, bukan seperti rapat keluarahan yang meliuk-liuk sampai inti masalah hilang di tengah jalan. Aku mengantarkan rombongan cowok-cowok mulus korea itu keluar dari ruang meeting, beberapa kolega wanita yang kebetulan berpapasan dengan kami tampak meleleh melihat pesona Andy Oh.

"Dia itu mirip banget sama Hyun Bin, lho mbak." Celetuk Mega, dia seperti mengerti arti lirikan menyelidikku terhadap petinggi pabrik garment itu.

"Siapa itu Hyun Bin, bos pabrik garment yang lain?" tanyaku polos, aku mengingat-ingat nama para petinggi pabrik garment mitra kerja kami. Sepertinya tidak ada yang bernama Hyun Bin, kecuali ada pergantian signifikan selama empat tahun kepergianku.

"Duuh Mbak Tari ini, nonton drakor deh. Nanti saya kasih list, drakor Hyun Bin, Mbak pasti jatuh cinta deh." Mega berkata dengan keyakinan setinggi Himalaya.

Baiklah, mungkin memang sudah saatnya aku tidak memandang sebelah mata dengan tontonan yang sepertinya lagi booming di negeri ini. Drama korea aku masukkan ke dalam to do list untuk segera di eksekusi sesegera mungkin.

Aku kembali ke ruangan meeting untuk membereskan beberapa file yang masih berantakan. Ada jeda kurang lebih empat puluh menit sebelum jadwal meeting selanjutnya, aku bisa mempelajari situasi bisnis woman line dan ruangan ini cocok, jauh dari hiruk pikuk suara dring telepon atau diskusi seru para kolega di ruangan kantor.

"Halo!"

Terdengar sapaan riang, seriang kicau burung di pagi hari. Aku mendongak ke arah suara, menemukan seorang kolega wanita dengan rambut kriwil yang dia biarkan terurai dengan bangga. Dia memakai flare dress warna hijau cerah, dan padanan sepatu converse putih. Penampilannya edgy dan sporty, senyum megawatt terpancar dari bibirnya yang segar terolesi lipgloss berwarna pink.

"Halo," balasku terdengar ragu. Aku jelas tidak tahu siapa wanita periang ini, dia belum ada di kantor ini empat tahun lalu.

"Kamu pasti Batari Kirana yah, orang yang membuat gempar seisi kantor." Dia berkata tanpa tedeng aling-aling, seperti sedang menyampaikan prakiraan cuaca, 'hari ini akan cerah, jadi kamu tidak perlu membawa payung.'

Aku mengerutkan alis, mencari tahu apakah she come in peace or she wants me to be in pieces dari nada bicaranya. Membuat gempar seluruh kantor?

"How's so?" balasku.

"Orang lokal pertama sebagai business manager, departmen besar pula!" Dia mengambil tempat duduk di sampingku tanpa aku persilahkan, masih menebarkan senyum sejuta watt. "Aku Heidy by the way ... Heidy Morgana,"

Morgana, nama yang aneh untuk orang Indonesia. Aku meneliti aura wajahnya sebelum menyambut sodoran sikunya agak ragu.

"Nice to meet you. Dari tim mana?" tanyaku, merubah posisi duduk menghadapnya. Dari bahasa tubuhnya aku tidak menemukan indikasi membahayakan, mungkin dia benar tidak bermaksud untuk menebar permusuhan. Hanya orang yang terlalu straight to the point, terlalu to the point untuk ukuran orang Indonesia.

"Aku evaluator dari knitwear," katanya riang. "Oh aku akan memakai ruangan ini. Kamu sudah selesai kan?"

Daan sekarang dia mengusirku.

"Sudah, sudah. Aku lagi beres-beres untuk pergi," dengan cepat aku membereskan beberapa map dan laptop dari atas meja, lalu bersiap-siap untuk pergi.

"Mau lunch bareng, nanti?"

Langkahku terhenti. Aku menoleh ke wanita bersepatu converse itu. A lunch date! Kalau untuk ukuran pria ini bisa dibilang terlalu agresif, mengajak date setelah baru bertukar kata beberapa kali, untuk ukuran wanita? Aku memandang wajah perempuan bernama Heidy Morgana yang sekarang sedang duduk menyilangkan kaki di depanku dengan penasaran. Dia mempunyai kaki sepanjang laba-laba, dalam balutan sepatu converse-pun kedua kakinya tampak indah menawan, aku bisa membayangkan betapa killernya kedua kakinya ketika sedang memakai high heels.

"Kita akan cocok untuk berteman," lanjutnya dengan percaya diri.

"Really? How's so?" Kedua tanganku tersilang di dada dengan punggung menyandar ke dinding, jujur orang ini bisa dikategorikan sebagai makhluk aneh. Terlalu jujur dan kepercayaan diri yang luar biasa entah kenapa membuatku tertarik.

"You will see," katanya, tidak menjawab pertanyaanku. "So ... lunch?" lanjutnya, lagi-lagi dengan nada penuh percaya diri bahwa aku tidak akan menolak tawarannya.

Aku memberikan jeda sejenak, bukan karena sedang berpikir, tetapi karena ingin membuatnya menunggu selama beberapa detik. Sedikit jual mahal.

"Ok," jawabku singkat, lalu melangkah meninggalkan ruangan meeting. Aku masih sempat meliriknya dari sudut mata, dia langsung sibuk dengan kegiatannya seolah-olah percakapan denganku yang baru saja tidak pernah terjadi. Benar-benar cewek yang aneh.

Itu adalah pertemuanku dengan orang yang nantinya akan menjadi soul mate buatku. Bukaaan ... aku bukan lesbi seperti yang kalian kira! Aku straight. Super. Normal. Suka sama cowok, dan nggak pernah ngebayangin untuk berciuman dengan perempuan. No way! Tetapi Heidy akan masuk dalam kategori soulmate-ku. 

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang