38. A Not So Decent Proposal

14.4K 1.4K 44
                                    

Duniaku runtuh. Aku tidak menyangka akan sepedih ini, berpisah dengan Genta. Lagipula itu adalah murni keputusanku sendiri. Tetapi kenapa aku mengalami kesedihan yang teramat sangat? Seperti sekeping jiwaku melayang. Pergi. Meninggalkan lubang menganga. Kosong. Hampa.

Aku menahan diri untuk tidak menangis. Tetapi tidak berhasil. Air mata seperti tidak ada habis-habisnya mengalir dari kedua mataku. Sebisa mungkin aku menyembunyikannya dari Agni. Tidak adil buatnya untuk ikut merasakan emosi akibat ulah Mamanya sendiri.

Aku terbangun dari tidur dengan mata sembab, melembung besar seperti dientup tawon. Bagaimana aku bisa menyamarkan kedua mata ini, membuatnya tampak layak untuk bertemu dengan orang-orang kantor?

Shit Tari! Paling tidak, kalau kamu ingin menangis, pastikan mata kamu tidak akan sembab!

Aku berdiri terpaku di depan cermin, memutar otak untuk mendandani mataku yang tidak layak hadir di khalayak ramai. Tidak masuk kantor. Cuti sakit. Sepertinya itu alasan jitu. Tapi kalau aku diam dirumah, apakah tidak mungkin kesembaban mata akan bertambah? Alih-alih berkurang.

Shit!

Aku mengambil kacamata hitam dari lemari. Ini membantu. Aku akan bilang mataku lagi sakit. Highly contagious disease. Orang lain tidak bisa melihat langsung ke arah mataku atau mereka akan terbakar, plus sekarang aku sangat mirip seperti seorang agen CIA. Cool.

Aku keluar dari kamar, siap berangkat ke kantor. Mami akan menjemput Agni dan Diah untuk ke rumah seperti biasa.

"What's with your eyes?"

Sebuah suara mengagetkanku. Hampir saja aku menabrak meja. Pandanganku mencari sosok suara yang sangat aku kenal.

"Gabriel ...?" dia sedang duduk di depan Agni, yang sedang menggenggam sebuah ... croissant? "Ngapain kamu di sini pagi-pagi gini?"

"Ngapain kamu pakai kaca mata hitam pagi-pagi gini?"

Aku memegang kacamata aviator yang bertengger di wajahku. "Oh ... mmm, lagi sakit mata."

Kening Gabriel berkerut. "Sudah ke dokter?"

"Nggak perlu, cuman sedikit sakit mata."

"Kalau sedikit, kenapa perlu pakai kacamata segala?"

Dia berjalan ke arahku. "Sini aku lihat," tangannya bersiap untuk meraih kacamataku.

"Noooo."

Lagi-lagi keningnya berkerut. "Mata kamu tidak berubah mempunyai kekuatan laser seperti Superman kan?"

"Sort of," aku berjalan memutar untuk menghindarinya.

"Hidung kamu juga merah, kamu yakin kamu baik-baik saja?"

Aku memutar badan, tanpa tahu tiba-tiba Gabriel sudah berada di sisiku. Wajahku tanpa sengaja membentur dadanya, membuat kacamata itu berkhianat dan terjatuh dari wajahku. Aku hendak mengambil kacamata yang terjatuh di lantai, ketika merasakan tangan Gabriel menahan lenganku.

"What happened?"

"I ... uumm, nothing." Aku membuang pandangan, tidak ingin bersitatap dengan Gabriel.

"Tari ... you cried. What happened?"

Dadaku tiba-tiba menjadi sesak, mataku memanas, dan tanpa bisa aku cegah air mata membanjir kembali.

Gabriel menarikku ke dalam pelukannya, mengusap belakang kepalaku dengan lembut. Dia membiarkan diriku menangis di dadanya, tanpa berkata apapun, hanya pelukannya yang memberikan aliran hangat ke dalam tubuhku.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang