22. Someone From the Past

16.4K 1.6K 57
                                    

Genta bertemu Mami, dan Mbak Rani. Yang membuat jantungku hampir copot. Tempo hari ketika kami bertiga pulang dari kantor, kami menemukan Mami dan Mbak Rani sudah berada di apartemen. Iya kami bertiga, Agni ikut ke kantor waktu itu. Diah sang suster sakit dan sukses tidak ada orang yang bisa aku percaya untuk menjaga Agni, jadilah hari itu bocah mungil itu sukses masuk ke dalam lingkaran child labour.

Genta menjemput kami sepulang kantor, which I am grateful for that, karena jujur, setelah satu hari juggling dengan urusan kantor dan Agni aku tidak tahu apakah akan bisa sekedar memandikan Agni tanpa jatuh tertidur.

Genta seperti sesosok ikan dalam air keluarga kami, dengan mudah dia masuk dan tanpa membutuhkan waktu lama, dia seperti sudah menjadi anggota baru keluarga kami. Hanya dibutuhkan Mami seorang untuk mencairkan hati Bapak, dan setelah bertemu dengan Agni, mereka berdua seperti kertas bertemu dengan lem. Lengket! Tidak terpisahkan. Hampir setiap pagi Bapak akan bersuka cita menjemput Agni, bocah itu dengan gembira menghabiskan hari-harinya bersama sang Opa dan Oma. Aku tidak perlu khawatir lagi seandainya Diah masuk angin lagi.

Hidupku sudah mulai tertata sekarang. Bagaimana tidak, ada support system yang terpercaya untuk menjaga Agni, dan juga ada seorang Genta! Pria tinggi dan tampan yang sering membuat beberapa rekan kerja perempuan mupeng ketika melihatnya. Kami cukup sering menghabiskan waktu bersama, bahkan kami bisa ngedate seperti orang-orang normal yang lain. Tanpa anak! Walaupun biasanya satu jam kemudian aku pasti kangen untuk melihat Agni.

"Kita harus double date kapan-kapan," usul Heidy, ketika kami berdua sedang menuju kantor dari makan siang.

"Boleh juga," kataku. You see, aku sudah kembali seperti orang normal. Bahkan merencanakan untuk double date segala.

"Loe udah dikenalin ke keluarganya?"

Pertanyaan Heidy seperti menyadarkanku. Kami memang baru beberapa bulan berpacaran, tetapi serasa seperti sudah bertahun-tahun. Dia bahkan sudah seperti menantu tanpa surat nikah bagi kedua orang tuaku, Agni sudah merasa mempunyai seorang ayah, tetapi dia belum pernah mengajakku untuk bertemu dengan keluarganya.

Aku menggeleng lemah ke arah Heidy. "Menurut elo, apakah gue harus mulai nanya?"

Heidy terlihat salah tingkah. "Mmm ... mungkin dia sedang mencari waktu yang tepat."

"Jangan-jangan ...,"

"No ... no ... nggak mungkin." Heidy terdiam, "what do you think?" lanjutnya. Ada kecemasan yang sama denganku di dalam suaranya.

"Sepertinya tidak mungkin. Hampir setiap weekend dia selalu sama gue, belum hari-hari biasa yang secara random dia mampir ke apartemen. Rasanya nggak mungkin dia bisa begitu kalau dia sudah berkeluarga."

"Mungkin nggak ada salahnya loe nanya," kata Heidy dengan suara pelan.

Hatiku mencelos, ada sesuatu menggelitik yang sebelumnya tidak ada di sana. Kenyataan bahwa sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengan keluarganya. Dia cukup sering menceritakan keluarganya, terutama adiknya dengan kedua keponakannya yang sangat lucu. Ayahnya, seorang pengusaha properti yang semakin memaksanya untuk mengambil alih kendali bisnis keluarga. Tidak terlalu banyak tentang Ibunya, tetapi dia pernah bercerita. Lalu kenapa sampai saat ini dia belum pernah mengajakku untuk bertemu dengan mereka?

Aku dan Heidy memasuki lobi gedung setelah kembali dari makan siang, suasana tidak terlalu ramai karena waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua siang.

"Menurut elo dia nggak bakalan marah kalau gue na—" Aku tidak melanjutkan apapun yang hendak aku tanyakan ke Heidy, karena semua lenyap dari kepalaku. Waktu terasa berhenti. Dunia terasa berhenti, inti yang berada jauh di dalam bumi seperti malas untuk menggerakkan planet ini. Aku seperti melihat zombie berada di tengah gedung ini.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang