33. The Love

13.6K 1.2K 20
                                    

Genta menarikku ke dalam pelukannya, ketika kami sudah sampai di apartemen. Tidak menghiraukan Diah yang sedang duduk bermain dengan Agni. "I am so sorry."

"Nggak papa, I am a big girl. Aku bisa menghandle semua ini," kataku dengan suara tercekat.

"Gara-gara aku, kamu harus berada di posisi ini."

"I am ok. Tadi aku memang marah, tapi sekarang sudah membaik."

Agni berlari ke arah kami, Genta langsung meraup tubuh mungilnya ke dalam gendongannya. Dia menciumi bocah itu, dibalas kikikan riang oleh Agni. Aku melihat interaksi mereka berdua, Genta sangat menyayangi Agni, mereka benar-benar sangat cocok satu dan lainnya.

Aku pernah dan masih membayangkan bahwa sosok Genta lah yang akan menjadi figur ayah bagi Agni. Walaupun tidak ada hubungan darah, tetapi aku bisa melihat kasih tulus dari Genta terhadap putriku. Tetapi kenyataan bertentangan dengan kehendak kami, orang tua Genta, Ibunya yang jelas-jelas tidak mengindahkanku, aku tidak ingin Agni tumbuh dalam penolakan. Dia berhak mendapatkan yang terbaik, tumbuh dengan orang-orang yang mencintainya.

"So, you've slept with her." Aku tidak tahan untuk tidak menyinggung topik itu, ketika Agni sudah berhasil tidur.

Dia memandangku penuh tanya.

"Dia memberi pengumuman ke aku, kalau kalian sudah tidur bareng. You are her first, and she was for you."

"Dia apa?"

"Tidur bareng!" Aku tahu bahwa aku tidak berhak marah, itu terjadi lama sebelum aku mengenalnya, lagipula aku juga tidur dengan Gabriel, hingga menimbulkan Agni. Tetapi aku tidak bisa menyembunyikan nada kemarahan dalam ucapanku.

"Tari, itu sudah lama banget. Indara adalah teman –"

"Teman SMA kamu. Aku tahu, dan kalian akhirnya berpacaran."

"Dia yang bilang begitu?"

"Siapa lagi? Aku bukan dukun yang bisa tau sesuatu tanpa mendapatkan informasi!" kataku jengkel.

"Tari ... aku minta maaf. Indara ... Mama ...," dia menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. ¨Tidak seharusnya kamu berada di situasi seperti ini.¨

Aku melunak, situasi ini sama memusingkannya buat dia. Aku tahu tidak ada satupun dari ini yang dia inginkan, tapi nyatanya, sekarang kami berdua menghadapinya.

"Apa kata Mama kamu, ketika kamu kembali kemarin?"

"Hhm?" dia menoleh ke arahku. "Aku nggak pulang kemarin. Aku malas pulang."

What?! "Terus, kamu di mana? Di rumah adik kamu?"

"Aku tidur di hotel."

Mataku tertuju ke arah tas hotel berlogo kepala singa yang dia bawa. "Kenapa kamu tidak bilang ke aku?" Kini aku merasa dobel bersalah.

"Aku kesal. Marah ... ketika melihat laki-laki itu."

Oh tidak. Bagaimana seandainya dia tahu aku berciuman dengan Gabriel, bahwa aku menginginkan berciuman dengan Gabriel, bahkan lebih dari itu. Sekarang aku benar-benar merasa seperti seorang pendosa.

"Genta ..." aku meraih tangannya. Menggenggamnya erat-erat.

Dia memandangku lekat-lekat. "You know I love you," ada selaput bening di kedua matanya.

Aku mengangguk. Punggung tangannya mengelus pipiku dengan lembut.

"Aku akan mencari solusi untuk masalah kita. Just be patient with me."

Lagi-lagi aku mengangguk, lalu merebahkan kepalaku ke dadanya, walaupun saat ini pikiranku bercabang ke mana-mana.

"Kamu akan pulang ke rumah hari ini?" tanyaku.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang