Heidy Morgana. Aku memang sempat terbengong-bengong di awal pertemuan kami, tetapi ternyata itu tidak berlangsung lama. Pertemuan selanjutnya, yaitu, sewaktu makan siang. Iya ... masih ingatkan dia menodong aku untuk mengajak lunch date? Anyway, kami langsung klik! Seperti pulpen dengan tutupnya, atau mie ayam dengan micin-nya, serasi dan sehati. Ternyata tidak susah untuk menjadi akrab dengan dia.
Berbeda dengan aku yang agak kaku, Heidy adalah sosok periang yang membuat orang lain merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Ketika dia memasuki ruangan, seperti ada lampu LED berpijar ke seluruh penjuru arah, membuat wajah-wajah yang lain ikut bersinar gembira.
Dia menjadi penasehat merangkap sebagai sumber informasi tentang berbagai gosip yang beredar di kantor. Membuat aku kagum dengan kemampuan kepalanya menyerap berbagai macam gosip dan masih bisa melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan benar. Berbeda dengan aku yang harus memilih salah satu di antara keduanya untuk menghasilkan sesuatu yang maksimal. Tentunya aku memilih untuk bekerja, sampai saat ini bekerja masih merupakan satu-satunya sumber penghasil uang, jadi untuk sementara aku menjadi pengikut gosip pasif, pengamat diantara puluhan wara wiri berita.
Seusai jam kantor, aku ada janji dengan agen property yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mbak Rani. Kakak semata wayang yang menyambut dengan semangat berlebihan ketika aku mengatakan ingin hidup mandiri, membeli apartemen sendiri. Berbeda dengan Mami yang langsung melakukan aksi unjuk rasa dengan bersumpah tidak akan membantu membayar uang muka, Mbak Rani berteriak riang.
"Sudah nggak jaman umur di atas tigapuluh masih tinggal dengan orang tuanya!"
Mami langsung merengut tentu saja, dia melabeli Mbak Rani sebagai orang yang akan merenggut anak bungsu kesayangannya keluar dari rumah.
Oh ya, Mbak Rani sudah menikah. Tentu saja tinggal terpisah dari kedua orang tuaku, walaupun rumah mereka hanya sejarak lemparan batu dari Rumah Mami dan Bapak. Dia adalah dokter gigi sukses, sedangkan suaminya adalah seorang arsitek. Mereka berdua adalah figur dengan profesi yang jelas menurut Mami dan Bapak. Berbeda dengan profesiku, yang tidak akan pernah diketahui oleh kedua orang tuaku, atau Mbak Rani sekalipun, manusia produk jaman moderen. Mereka terheran-heran ketika mendengar aku akan bekerja di ranah industri garment. Sesuatu yang sangat asing bagi mereka.
"Kamu nanti bakalan bantu orang-orang di pabrik garment itu untuk bikin baju?" begitu pertanyaan Mami. Ada benarnya juga, memang aku membantu untuk membikin baju, walaupun bukan menjadi tukang jahit, tetapi aku adalah salah satu dari mata rantai bisnis baju dunia.
Kedua orang tuaku selalu beranggapan pekerjaanku hanyalah sebuah batu loncatan, sampai aku menemukan pekerjaan yang sebenarnya. Mereka pikir setiap hari aku datang ke kantor jam Sembilan pagi dan baru pulang jam tujuh malam itu hanya main-main belaka. Sampai akhirnya aku melanglang ke Hongkong dan Swedia, barulah mereka sadar bahwa pekerjaanku ternyata bergengsi, bukan mensuplai produk untuk dijual di tanah abang.
Heidy dengan suka cita mengiyakan ajakanku untuk melihat apartemen, sama seperti aku, dia adalah seorang yang mandiri, tinggal di apartemen mungil tidak jauh dari Grand Indonesia. Sedangkan aku sendiri, setelah empat tahun hidup di luar negeri, aku terlalu malas berjibaku dengan kemacetan Jakarta. Jadi aku mencoba peruntungan untuk mendapatkan sebuah tempat tinggal dengan jarak berjalan kaki dari kantor, tidak murah tentu saja, tetapi dari hasil tabungan selama empat tahun menjadi TKI, aku mempunyai uang yang cukup untuk membayar uang muka. Sisanya, akan bisa teratasi dengan gaji bulanan.
Mbak Rani sudah sampai di apartemen terlebih dahulu, dia memang tergolong aneh untuk ukuran rata-rata orang Indonesia yang hobi jam karet. Kakakku ini selalu on time, dia orang yang paling suka rewel dengan yang namanya terlambat, itu adalah kosakata haram dalam kamusnya. Dia berjalan mondar-mandir di lobi apartemen, mirip seperti ayam yang sedang mencari sarang untuk bertelur. Pandangan matanya langsung sangar setelah melihat aku yang terlambat sepuluh menih, ini adalah dosa besar dalam standard Mbak Rani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...