16. Welcome to Motherhood

19.5K 1.7K 20
                                    

Entah sudah berapa lama rapat ini berlangsung, lima belas menit? Satu jam, atau mungkin satu hari. Otakku hanya sayup-sayup mencerna apapun yang sedang diterangkan oleh Anker di layar monitor besar yang tertempel di dinding. Sesuatu tentang fast buying dan fast fashion? Entahlah, aku tidak bisa menyerap semua perkataannya dengan jelas, karena otakku sibuk mempertahankan kedua kelopak mataku untuk tidak jatuh tertutup saat ini. Atau saat lalu, atau mungkin sedetik kedepan. Aku tidak mengenal lagi apa namanya beauty sleep, aku bahkan lupa apakah itu memang pernah ada. Kapan terakhir kali aku bisa tertidur dengan layak? Mungkin seratus tahun yang lalu. Entahlah. Lupa, sangat lupa. Saat ini aku sedang mengalamai kekurangan tidur secara kronis. Teramat sangat kronis!

Bagaimana tidak. Putriku, Agnia Kirana, si cantik bermata biru yang sekarang sudah berumur empat bulan ... atau lima bulan? O shit, bahkan umur anak sendiripun aku lupa. Yes, dia mewarisi mata biru bening dari sang ayah, lelaki yang tidak aku ketahui di mana keberadaannya atau bahkan namanya sekalipun. Kadang aku berpikir, bagaimana aku bisa menerangkan ke Agni nanti setelah dia besar dan bertanya tentang keberadaan ayahnya. 'Mama ketemu Papa di club, dan tidak pernah tahu keberadaannya lagi setelah itu', bukan ide cemerlang tentu saja. Paling tidak, aku masih mempunyai waktu beberapa tahun untuk sampai ke sana. Saat ini, hal sangat penting yang aku butuhkan adalah tidur, putri mungilku itu, sangat hobi bersaing dengan satpam, bangun tiga sampai empat kali semalam. Aku yakin satpam sekalipun tidak akan bangun sesering itu, membuat aku hanya bisa memejamkan mata selama tiga atau empat jam setiap malam, itupun selalu terpotong-potong.

Ketika orang bilang bahwa mempunyai anak itu lucu, aku yakin mereka hanya berpura-pura atau shift malam diserahkan ke para suster, untuk menangani para bayi yang rajin menangis meminta jatah makan setiap tiga jam itu. Nggak lucu, not at all, not even a bit!

Ya Tuhan ... kapan rapat ini akan segera selesai. Aku butuh tidur. Aku butuh ... oh shit! Aku merasakan cairan basah dengan gerakan pelan tapi pasti mulai menyebar keluar dari puncak payudaraku yang sekarasang sebesar dada Pamela Anderson, merayap memasuki bra yang aku kenakan, seiring dengan deraan rasa nyeri yang teramat sangat. Alarm dari dalam tubuhku, meminta untuk mengeluarkan cairan penuh manfaat berwarna putih dari dalam sana.

Aku mengatur napas, mencoba memerintahkan air susu itu untuk berhenti keluar, sebelum ada dua tanda bulat di blus warna hijau yang aku kenakan. Sia-sia, sepertinya tubuhku sudah mulai tidak sinkron, otakku tidak berdaya melayan kemauan si air susu untuk keluar.

"... and that's it, I need you to collect datas from your team, we will finalize everything next week!"

Aku tergagap. Meeting sudah selesesai. Meeting akhirnya seleseai! Aku ingin mengepalkan tinju ke udara dan berteriak 'yesss!', tetapi pasti akan terlihat sangat tidak sopan. Dengan gerakan kilat, aku merapikan beberapa kertas dari atas meja, menyumpalkan semuanya ke dalam map yang aku bawa, melambaikan tangan ke semua orang yang tampak masih asik berbicara satu dengan yang lain, seolah mereka mempunyai all the time in the world, aku berlari keluar ruangan meeting. Breast pump, aku membutuhkan benda itu sekarang juga!

"Mbak Tari, urgent. Saya butuh approval urgent, ini pabrik nungguin untuk mulai cutting." Mega meletakkan beberapa lembar kain yang tertempel dengan rapi di atas sebuah kertas tebal di atas mejaku.

"Lima belas menit Mega, give me fifteen minutes!" Aku menyambar tas breast pump yang tersimpan dengan manis di lemari kecil di samping meja kerjaku, lalu berlari bak the flash, ada hal yang lebih mendesak sebelum aku bisa memelototi lembaran lembaran kain serupa tapi tak sama tersebut.

Irama statis breast pump bagaikan obat yang sedikit demi sedikit mengangkat rasa nyeri di kedua payudaraku. Aku menyandarkan punggung ke kursi sofa yang empuk, membiarkan cairan putih itu perlahan-lahan beralih ke dua botol yang terletak di samping kiri dan kananku. Mama perah, itulah aku sekarang, kalau bukan mulut mungil itu yang selalu bahagia ketika bertemu dengan puting susuku, mulut alat-alat penyedot ini sebagai pengganti untuk menguras cairan susu dari dalam sana. Mataku terpejam, menikmati sensasi ringan yang muncul seiring dengan bunyi srrreettt ... srrreettt, dan juga alasan apapun yang memungkinkan aku untuk bisa memejamkan mata, aku akan berterima kasih. Sangat berterima kasih.

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang