Dentuman suara musik klub semakin malam semakin terasa seperti hendak memecahkan gendang telinga. Entah sudah berapa lama aku menari-nari di lantai dansa, berputar, tangan ke udara mengikuti alunan musik yang menghentak-hentak, yang tidak aku lakukan hanya twerking saja. Itu simply karena aku tidak bisa, bukan karena alasan lain.
Entah berapa botol wine yang sudah kami habiskan bersama-sama, di tapas bar, sewaktu makan malam dan sekarang di sini. Kepalaku mulai terasa berputar-putar. Jujur ini bukan tindakan yang bijaksana, mengingat aku harus terbang keesokan harinya, penerbangan yang sangat lama untuk pulang ke tanah air. Seharusnya aku menghindari minum terlalu banyak, hangover adalah musuh bebuyutan long haul flight.
Mungkin aku perlu duduk, iya duduk sebentar, meraup kesadaran yang tercecer di lantai dansa, sekalian menarik napas, atau mungkin memejamkan mata.
"Aku minggir sebentar ... ok!" teriakku ke Stephanie yang sepertinya sia-sia, dia tidak mengerti satu katapun yang keluar dari mulutku.
"WHATTT?!" ikut berteriak, bermaksud mengalahkan alunan dentuman musik yang semakin menggelegar.
Aku mengacungkan jemari, menunjuk ke arah meja kami yang terlihat kosong. Ternyata body language lebih ampuh untuk sarana komunikasi di tempat ini, Stephanie langsung mengerti apa yang aku maksud. Tetapi aku sudah bisa menduga reaksinya, dia tidak rela aku meninggalkan lantai dansa, dengan sisa-sisa tenaga, dia mencoba menarik tanganku untuk kembali mengayun tubuh.
Untung saja aku menghabiskan beberapa piring tapas, serta steak medium raw yang aku pesan tadi, semua makanan yang berhasil aku tandaskan tanpa sisa, membuat kekuatanku berada di atas angin.
"I'll be back!" kataku bak Arnold Schwarzenegger di filem Terminator.
Dengan sedikit terhuyung aku berjalan ke pinggir, menyelinap di antara orang-orang yang sedang sibuk bergoyang. Sekarang baru terasa bahwa high heels seksi berwarna hitam yang aku pakai ini tidak bersahabat, betapa aku merindukan sepatu teplek saat ini, atau mungkin aku copot saja, pulang ke rumah bertelanjang kaki. Tapi udara dingin musin gugur tidak akan membuat kaki tropisku ini bahagia, bisa-bisa jemari kakiku terkena hypothemia, lalu aku harus memotong jemari semua jemari kakiku. Aku akan menjadi Batari Kirana, si manusia tanpa jemari kaki. Kemungkinan itu membuatku bergidik.
Aku hampir sampai ke meja kami ketika tiba-tiba, brukk! Aku menabrak seseorang!
Kedua kakiku yang sudah kepayahan akibat berjingkrak di lantai dansa tidak kuat lagi untuk menyangga tubuhku. Tanpa bisa aku cegah, tubuhku oleng ke samping dengan posisi kepala belakang mengarah ke lantai yang dingin.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah lengan kokoh meraih pinggangku, mencegah tubuhku bertemu dengan dinginnya lantai, sedangkan tangan kokoh yang lain memegang lenganku. Pandangan kami bertemu, dua buah mata biru paling menawan sedang menatapku. Saat ini posisi kami seperti dua orang penari tango, di mana si penari wanita menjatuhkan tubuhnya ke samping dengan seksi dan gemulai, ditangkap oleh si penari pria dengan menawan. Hanya saja aku tidak bisa menari, dan tentu saja posisiku jauh dari seksi.
"Sorry," kataku. Menyadari bahwa akulah yang menabraknya, dan sekarang dialah sang penyelamatku. My savior with his blue eyes. Mata birunya menatap tajam, menghujam langsung ke uluh hati, membuatku terpana, aku seperti terbang melayang, terpesona oleh si mata biru.
Dia tersenyum, menampakkan sederetan gigi putih mempesona, juga lesung di kedua pipi yang tampak sangat menawan. Apakah aku menabrak manusia, atau malaikat tampan yang sedang turun ke bumi untuk mencatat tingkah laku manusia di klub ini? Mudah-mudahan tadi aku tidak bertingkah terlalu buruk, tidak ingin ada angka lima di rapor kehidupan sedangkan rapor sewaktu di sekolah selalu di dominasi angka delapan. Tapi fakta bahwa sekarang aku berada di tengah klub dalam keadaan mabuk, cukup membuat malaikat manapun akan segera menuliskan angka merah ke dalam rapor kehidupan.
Aku masih tidak merubah posisi, menggelayut ditopang oleh kedua tangannya. Aku bisa berada dalam posisi ini sampai pagi, karena dengan ini aku bisa memandangi wajahnya yang tampan. Tapi tunggu ... sepertinya punggungku mulai protes, lebih baik aku mulai berdiri sebelum encok menyerang dan keesokan harinya harus berjalan terbungkuk-bungkuk.
"Not a problem," katanya di sela senyuman yang masih tersungging di wajahnya. Suara bariton-nya terdengar persis seperti penyiar radio tahun delapan puluhan, sedang membacakan berita tentang harga bawang merah pipilan dan cabe keriting. Sumpah tanpa melihat wajahnya pun aku bisa jatuh cinta dengan orang ini.
Dengan susah payah aku mencoba bangkit, terlalu susah, si Mister tampan ini sampai harus menarik badanku.
"Thanks," kataku. Merapikan dress biru selutut yang aku pakai, mata si mister tampan itu melirik ke arah bagian dada yang memang berpotongan rendah. Menampakkan kulit cokelat yang menurutku terlalu gelap tetapi sangat eksotis menurut orang-orang kaukasia ini.
"Oops sorry, I don't mean to ...."
Ternyata bukan aku saja yang salah tingkah, Mister tampan ini juga terlihat tidak nyaman sudah tertangkap basah memandangi area dadaku. Dia terlihat kikuk, menggaruk pelipisnya pelan, gerakan yang tanpa alasan pasti membuatnya terlihat lebih tampan dan menggemaskan.
Mungkin ini adalah dunia mencoba berkomunikasi kepadaku, mengirimkan makhluk tampan ini di hari terakhirku di negara ini. Ini adalah titik awal dari jalan indah hidup kami yang membentang panjang. Kami akan berpacaran, semua teman-temanku akan iri melihat pacarku yang ketampannya melebihi George Clooney, lalu kami akan menikah, mempunyai anak-anak lucu, tentunya bermata biru seperti ayahnya. Kami akan hidup happily ever after, seperti cerita Cinderella minus sepatu kacanya, dan kami bertemu di klub bukan di arena dansa istana yang mewah.
Aku tersenyum sumringah, membayangkan masa depan indah kami berdua, lalu dengan penuh semangat aku meraih tubuhnya, mendaratkan bibirku di atas bibirnya dan menciumnya dengan liar.
"You ... are ... so ... damn ... hot!" kataku sambil terus melumat bibirnya. Dia sedikit kaget, lalu tentu saja tidak kuasa menahan lumatan liar bibirku. Kami berciuman dengan ganas, tangannya mulai bergerilya ke arah dada dan pahaku, menimbulkan sensasi luar biasa nikmat. Aku melenguh tertahan.
"Not ... here," kataku dengan napas memburu. Sumpah aku bisa saja melakukannya di sini, tetapi sisa-sisa kewarasanku masih bisa mengatakan bahwa kami tidak bisa bercinta di tempat penuh manusia dengan background house music yang menggelegar.
"Let's go to my hotel," bisiknya di telingaku, terdengar bagaikan sejuk hembusan angin surga.
Dia membibing tanganku untuk keluar dari klub, langkah kami terburu-buru, salah satu tangannya masih tanpa henti mengelus pahaku, beberapa kali langkah kami terhenti akibat aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya, lagi dan lagi. Semua ini membuatku tidak sabar untuk mendorongnya jatuh ke atas ranjang, mencabik-cabik pakaian yang melekat di tubuhnya.
Tunggu, Stephanie dan lain-lain? Di mana mereka? Ah biarkan saja, besok pagi aku akan menelpon mereka satu-persatu, menjelaskan bahwa aku meninggalkan klub karena harus beristirahat, persiapan untuk penerbangan jauh. Tentu saja aku tidak akan menceritakan apapun tentang si makhluk tampan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...