37. The Heartbreak

13.6K 1.3K 50
                                    

Aku bergerak gelisah. Belum tiga puluh menit kami duduk di restoran ini, tetapi aku sudah memohon diri untuk pergi ke kamar kecil. Dua kali.

Beberapa kali Genta bertanya apakah aku baik-baik saja. Tentu saja tidak. Keringat dingin mengucur seperti aku baru saja melihat kuntilanak, walaupun aku belum pernah melihat kuntilanak seumur hidup. Tidak dalam sekelebat pun. Bahkan aku tidak tahu bentuk kuntilanak itu bagaimana. Catatan untuk diri sendiri, mungkin nanti harus google sosok kuntilanak. Ok, bukan sesuatu yang bijaksana. Itu hanya akan menambah kegusaranku.

"Mau ke kamar kecil lagi?" tanya Genta.

Sedari tadi aku membolak balik buku menu, tanpa ada satupun menu yang terbaca oleh mataku. Aku bahkan tidak lapar. Hanya sudah dua gelas air putih aku habiskan. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa makan. Mungkin tidak untuk hari ini, atau dua minggu kedepan.

Aku tersenyum dengan gugup. "Nggaak, cuman lagi baca menu."

"Sudah tau mau makan apa?"

"Eh ... mmm, ini lagi baca."

Aku menenggelamkan kepala di balik buku menu, mengumpulkan segala kekuatan yang sudah aku susun selama beberapa hari terakhir.

"Sebenernya ..., ada yang ingin aku sampaikan," kataku lirih.

Genta menarik sedikit bibirnya ke arah luar, membentuk senyuman tipis yang sangat manis. "I knew it. Kalau kamu sudah gelisah nggak karuan gitu, pasti ada yang mengganjal." Dia meletakkan buku menu ke atas meja. "Tell me."

Suaranya terdengar sejuk, membuat perasaan bersalah menggunung di sudut hatiku walaupun aku belum mengatakan apapun. Aku menggigit bibir bawah, tidak tahu harus memulainya dari mana. "Aku mau putus."

Aku ingin tenggelam. Saat ini. Ingin lenyap dari muka bumi. Aku tidak berani menatap ke arahnya, tidak tahu bagaimana respon dia terhadap perkataanku barusan. Tidak tahu harus berbuat apa kedepannya.

Aku menunggu beberapa detik. Sunyi. Tidak ada jawaban. Dengan perlahan aku menatap ke arah Genta. Pria itu mematung, seperti salah satu patung di Madam Tussaud. Aku baru saja hendak mengatakan sesuatu, ketika dia mendahuluinya.

"Kamu sudah tidur dengan dia?"

What?

"Nooo. Enggak. Sama sekali, nggak!"

Aku tidak tidur dengan Gabriel, hanya berciuman. Tiga kali. In my defense, ciuman itu beda kategori dengan tidur. Sangat beda.

"Do you love him?"

"Genta ...," ada mendung menggelayut di wajahnya. Secara refleks tanganku bergerak ke arahnya, lalu aku tahan. Bukan hakku untuk menenangkannya. Akulah penyebab mendung itu. "Dia adalah ayah dari Agni," kataku, bukan sebuah jawaban dari pertanyaannya.

"Aku bisa menjadi ayah bagi Agni. Aku mencintai Agni. Aku mencintaimu!"

Ini lebih berat dari yang aku bayangkan. Membicarakan putus dari Genta, menyakiti hati pria itu.

"Ini yang terbaik."

"Buat siapa?"

Aku menghela napas. Aku bahkan setuju dengan pertanyaannya, aku tidak tahu ini yang terbaik untuk siapa.

"Aku akan menikah dengan Gabriel." Aku terkejut dengan perkataanku sendiri, entah dari mana ide itu tiba-tiba muncul. Gabriel tidak tahu menahu tentang menikah. Mungkin dia tahu ... mengharapkan aku memutuskan Genta, tetapi tidak tentang menikah. Bagaimana kalau dia tidak mau menikah denganku?

Raut wajah Genta menunjukkan kekalahan. Sejenak aku berharap bahwa dia akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan aku, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Mungkin aku egois, mengharapkan dia untuk menahanku walaupun aku adalah pihak yang memutuskan untuk berpisah dengannya. Tetapi kebisuannya ternyata membuatku sakit.

"Genta ...," kataku lirih.

"Are you happy with your decision?"

What? Am I happy? "Aku ... mungkin ... ini yang terbaik."

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

Aku nggak tahu apakah aku happy atau tidak. Aku tidak tahu apakah aku membuat keputusan yang benar atau tidak.

Aku menganggukkan kepala dengan samar.

"Then, it is ok. Selama kamu bahagia, aku tidak akan apa-apa."

What? Nooo ... please bilang kalau kamu tidak mau putus dengan aku. Bahwa kamu akan mempertahankan aku mati-matian. Please ... please ... please.

"Kamu pasti membenci aku sekarang," kataku.

Dia menarik napas berat. "No. Aku cuman ...," lagi-lagi dia menarik napas. "I don't see this coming."

Dia membuang pandangannya ke arah buku menu di depannya. Kedua pelupuk mataku memanas, seiring dengan rasa nyeri yang perlahan-lahan menyeruak di dadaku, seperti pisau belati yang menusuk kulit, menembus dagingku, perlahan, menyakitkan. Aku telah menyakitinya, pria yang teramat sangat aku cintai. Nyeri di dadaku timbul karena melihatnya terluka. Aku ingin meraihnya, memeluknya, tetapi itu adalah tindakan bodoh, aku yang baru saja memberikan bogem mentah kepadanya.

¨Kamu masih mau makan?¨ tanyanya tanpa melihat ke arahku.

¨W-what?¨

¨Kalau kamu tidak ingin makan, mungkin sebaiknya kamu pulang.¨

Sebaiknya kamu pulang. Kalimat itu terdengar sangat asing keluar dari mulutnya, biasanya dia akan menyebut kami, sekarang dia sudah merubahnya hanya untuk diriku.

Sekuat tenaga aku menahan air mataku untuk tidak jatuh, aku tidak perlu membebaninya dengan melihatku menangis, karena itu hanya akan membuat hatinya bertambah hancur.

¨Aku ... iya, sebaiknya aku pulang.¨

Aku menunggu beberapa saat, tetapi dia hanya terdiam. Aku masih menginginkan saat ini supaya dia menahanku, memintaku untuk tidak putus dengannya, tetapi itu adalah keinginan yang sangat egois.

Aku meraih tas, lalu bangkit. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal, menciumnya, tetapi tidak ada satu patah kata pun yang berhasil keluar dari mulutku. Aku melangkah pergi dalam diam.

*****

Author's note:

Ada team Genta nggak sih di sini? Dia butuh pelukan.

Cerita ini sudah hampir selesai yah. Cerita baru akan segera menyusul. Silahkan follow account Asoka Biru supaya terus update.

Xoxo

Asoka Biru

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang