Aku membuka mata, tidak menemukan Genta berada di sebelahku. Tanganku meraba bantal di mana dia merebahkan kepalanya semalam, aku bisa mencium aroma tubuhnya yang tertinggal di bantal ini.
Dengan berat aku menarik tubuhku untuk duduk disisi tempat tidur, melirik ke arah baby monitor yang layarnya sudah dalam keadaan mati. Mungkin Genta sudah mengambil Agni dari tempat tidurnya.
Aroma wangi gula bercampur mentega, ditimpa aroma kopi langsung menyapa indera penciuman ketika aku membuka pintu. Genta sedang duduk di hadapan Agni yang sedang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Dia berdiri begitu menyadari kehadiranku, menarik pinggangku hingga badan kami bersentuhan.
"Morning baby."
Aku membalas lumatan bibirnya dengan canggung. "Belum gosok gigi."
"I don't mind."
Dia hendak menciumku lagi.
"I do!"
Aku bergerak ke arah Agni, untuk memberikan kecupan selamat pagi. Bocah itu melambaikan, crepe?
"Dari mana dapat crepe pagi-pagi gini?"
"Dari chef Genta."
Mataku tertuju ke beberapa lembar crepe yang tertumpuk di atas piring.
"Coffee?" tanya Genta.
"Yes, please." Mengambil selapis crepe ke atas piring. "Oh I miss this. Sewaktu kami tinggal di Perancis, aku nggak pernah bosan makan ini." Bapak pernah tiga tahun bertugas di Perancis, sebagai keluarga diplomat, kami memang sering berpindah-pindah negara. Hidup seperti nomaden.
"Kamu tahu kalau crepe itu literally sangat gampang untuk dibikin kan?"
"For you, maybe. Not for me."
"Nanti aku ajari bikin crepe."
Aku mencembik, memberikan pandangan memelas ke arah Genta.
"Ok ... ok, aku yang akan bikin."
"Yaayy!!!"
"Aku mendapatkan pencerahan," katanya, sembari menyorongkan cangkir berisi kopi ke arahku.
"Thanks."
"Semalam aku berpikir –"
¨Tentang?¨
Dia mengelus pahaku. Aku tepis , mengarahkan pandangan ke Agni.
"She's only one!"
"Iya ... tapi dia tahu perbuatan tidak senonoh."
"Masak sih Agni?" tanya Genta, yang dijawab dengan cengiran riang oleh Agni.
"We can get married dan tinggal bareng. Apartemen di Dharmawangsa sudah hampir selesai direnovasi."
Sepotong crepe yang sedang aku kunyah mendadak jatuh, mataku terbelalak, sedangkan otakku memproses apakah aku tidak salah dengar. ¨Kamu punya apartemen? Di Dharmawangsa?¨
¨Tadinya ... itu untuk kejutan. Aku beli apartemen itu untuk kita.¨
Tanganku gagal memotong lembaran crepe di depanku.
"Menurut kamu gimana?"
Aku masih melongo, tidak tahu harus merespon apa.
"Tari ...."
"Hah ... ya?" aku buru-buru menyeruput kopi yang berada di dekatku. Sialan, terlalu banyak, masih sangat panas. "And your parents? Maksudku, Mama kamu?" ini adalah prioritas utama sesuatu yang ingin aku tanyakan.
Dia menarik napas lirih. "I am an adult. Aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri. Walaupun itu berarti tanpa persetujuan mereka."
"Nooooo," timpalku cepat. "Mereka orang tuamu, kamu butuh mereka. Kamu tidak bisa begitu saja tidak mengindahkan keberadaan mereka."
Di benakku terbayang masa-masa di mana aku terbuang dari Mami dan Bapak. Betapa hidupku kosong, ada lubang menganga yang tidak bisa tertutupi. Aku tidak ingin Genta mengalami hal itu.
"Dan kamu adalah wanita yang aku cintai."
Dia memandang lekat ke arahku. "Aku sudah janji ke kamu untuk mencari solusi masalah kita."
Aku mengambil jeda sejenak, lalu meraih tangannya. "I know, and I appreciate it. Tapi aku tidak ingin solusi yang kamu ambil berarti kamu harus menjauh dari kedua orang tua kamu. Aku sudah mengalaminya sendiri, ketika aku terbuang dari Mami dan Bapak. Kamu tidak ingin berada pada posisi itu. Kamu tidak harus berada dalam posisi itu untuk alasan apapun. They are your parents!"
"Baiklah. Aku akan coba berbicara dengan mereka, terutama dengan ... Mama."
Aku bisa melihat mendung menggelayut di wajahnya. Menilik dari sikap Mamanya, ketika aku berada di sana, mendapatkan hatinya pastilah sangat sulit. Wanita itu sepertinya akan siap mengerahkan semua upaya, supaya aku tidak akan bersama dengan putranya.
Hubunganku dengan Genta, seperti telah selesai melewati masa berkembangnya. Walaupun cinta kami berdua masih tetap berkobar, tetapi hari-hari itu sudah berlalu. Yang menunggu di depan kami adalah sayu, kuntum bunga yang berhenti tumbuh karena dimakan waktu.
¨Tari,¨ panggilnya. Dia seperti tahu apa yang sedang bergejolak di kepalaku. ¨I love you. Please be patient with me.¨
Hari-hari selanjutnya, ternyata tidak mudah. Hidup Genta seperti dipenuhi oleh ketegangan, tidak jarang dia berwajah muram ketika bertemu denganku. Walaupun aku sudah tahu sumber masalahnya, tetapi aku tetap menanyakannya. Dia berusaha mengelak, mengatakan bahwa dia sedang berupaya untuk meluluhkan hati orang tuanya.
Hubungannya dengan kedua orang tuanya semakin memanas. Sesuatu yang membuatku semakin merasa bersalah, dia tidak seharusnya berada dalam posisi ini. Seandainya bukan aku, dia tidak harus mengalami hal ini.
"Aku menyewa apartemen di Residence 8, untuk sementara, sampai Dharmawangasa selesai." katanya sekonyong-konyong ketika kami sedang makan siang bersama.
"You what?"
"Aku tidak bisa terus tinggal di rumah, dengan Mama selalu merecoki hidupku, dan ...,"
"Dan?"
Dia memandangku sekilas, lalu kembali beralih piring di depannya. "Indara. Mama selalu rajin membawa Indara ke rumah."
Dadaku seperti tertinju kepalan tangan. Tentu saja. Perempuan itu sama bernafsunya untuk mendapatkan Genta kembali. Menyatroni kantorku hanya sebuah langkah kecil, bertemu dengan Genta sesering mungkin adalah langkah-langkah besar dia selanjutnya.
"Kamu nggak bisa pergi dari rumah begitu saja," kataku dengan nada tercekat.
"I can. Aku sudah tinggal beberapa hari di apartemen."
Mataku membelalak. "Dan kamu baru ngasih tau aku sekarang?"
Dia meletakkan sendoknya. "Aku tahu kamu tidak akan pernah setuju aku pergi dari rumah. lagipula, aku ini sudah dewasa. Harusnya aku sudah tinggal sendiri setelah selesai kuliah. Kamu juga tinggal terpisah dari orang tuamu."
"I know. Tetapi aku pergi dari rumah dengan seijin mereka, sedangkan kamu lain."
"Mama, mengancam untuk memutuskan aku dari daftar warisan. Seperti ada orang lain saja yang bakalan mengurus perusahaan Papa. Anyway, aku tidak butuh warisan." Dia memandangku dengan lekat. "Kita akan bisa hidup baik-baik saja dengan pekerjaanku. I have a good job."
Aku memandangnya. Bukan masalah dia mempunyai pekerjaan yang bagus atau apa, tetapi aku tidak menginginkan dia berseteru dengan kedua orang tuanya. Rasa bersalah semakin menggunung di dalam hatiku. Aku tidak ingin dia mengalami apa yang pernah aku alami, terbuang dari orang tuanya.
****
Author's note:
Tari dan Genta semakin berat cintah. Gimana kelanjutannya?
Keep calm, follow terus Asoka Biru.
Xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...