14. To Tell Or Not To Tell

17K 1.4K 8
                                    

"Oke. Bentar, tolong bisa ulangi lagi? Gue nggak yakin gue tadi denger omongan elo," Heidy meletakkan sendok dan garpunya di meja.

Kami sedang makan siang, di restoran tidak terlalu jauh dari kantor. Sudah waktunya aku memberi tahu sahabatku ini tentang keputusanku, walaupun ... aku baru memutuskannya, ok mungkin memutuskan bukan kata yang tepat. Mendapatkan pencerahan mungkin lebih tepat, anyway ... keputusanku untuk tidak menggugurkan kandungan. Yang baru membulat di dalam pikiranku kemarin. Ketika akhirnya aku melarikan diri dari klinik, dan hari ini aku mengabarkan berita itu ke Heidy. Sahabatku.

"I am going to keep this baby," kataku, mencoba sekasual mungkin, walaupun soto Betawi yang baru saja masuk ke dalam mulutku mendadak terasa seret.

"Tari ... loe yakin ...?" ucapnya, matanya membelalak seolah baru saja mendengar sesuatu yang gila keluar dari mulutku.

Oke, baik. Ini memang gila. Keputusanku, gila. Hal yang aku alami sekarang, gila. Aku tidak tahu menahu apapun tentang bayi, membesarkan anak. Mungkin aku memang sudah gila.

Aku mengangguk.

"Ya Tuhan ...," dia menangkupkan kedua tangannya ke muka.

"Eh, inget ... covid, tuh tangan jauh-jauh dari wajah."

Heidy tidak menggubris ucapanku, dia menggosok mata dengan ganas. "Gimana nanti kamu ... bokap nyokap loe tau?"

"Nope!" Aku kembali menyendok soto Betawi dari dalam mangkuk.

"Loe berencana memberi tahu mereka kan? Maksud gue, loe gak bisa nyembunyiin kalau loe berniat ... berniat .... Terus gimana nanti dengan kantor?" Dia terlihat panik. Aku mengerutkan alis, sebenarnya aku atau dia yang berada dalam masalah?

"I will. Tapi aku masih belum tahu kapan. Jujur aku nggak tahu gimana bilangnya, dan untuk urusan kantor ...," aku termenung. "Jujur, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan kedepannya. Aku nggak tahu gimana hidup selanjutnya, sekarang ini yang jelas adalah ... gue akan keep bayi ini."

Heidy menatapku tajam, seolah baru saja mendengar bahwa aku akan mencalonkan diri untuk menjadi presiden. Walaupun itu adalah suatu hal yang mungkin, tetapi terdengar gila. Aku memang sudah gila.

"Kamu hamil sama cowok yang nggak kamu ketahui di mana dia berada, bahkan namanya ... at least tell me the sex was good." Dia memijit kedua pelipisnya.

Bayangan si bule bermata biru melintas. Mungkin dia orang Italia, dari wajahnya dia tampak seperti orang Italia. Atau Spain? Ok, aku tidak tahu dia berasal dari mana. Sangat jelas waktu itu aku terlalu mabuk untuk menelusuri asal usulnya dengan pasti.

"Dia mempunyai sepasang mata biru teduh terindah yang pernah gue lihat. Badannya ... sangat fit," aku menyunggingkan senyum kecil mengingat si bule bermata biru tanpa baju dan berada di atasku. "Six packs dan the biggest ..."

"Ok ... ok ... cukup. Terlalu detail, yep. Gue paham, you had the best sex of your life. Nggak perlu digambarkan terlalu rinci." Dia menutup mata dengan kedua tangan.

Aku menyeruput jus jeruk dari gelas dengan perlahan, "tadi kamu yang nanya."

"Elo siap menghadapi semuanya?" tanya Heidy serius.

Siap? Apa dia gila? Mana mungkin aku siap!

Hamil di luar nikah dan tanpa tahu keberadaan si pria yang menghamili tidak ada dalam rencana hidupku. Tidak ada dalam rencana hidup siapapun. Sekarang ini, aku seperti membiarkan hidupku berjalan auto pilot, tanpa bermaksud menyetir ke kanan atau ke kiri. Aku biarkan saja berjalan sendiri, melewati jalan apa dan akan sampai di mana aku sendiri tidak tahu menahu. Aku menarik napas panjang. "Nope!"

Occupation, MotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang