"Loe yakin nggak papa?" Heidy memandangiku yang baru saja kembali dari toilet. "Muka loe kayak habis ngelihat hantu gitu, yakin di toilet nggak ketemu kuntilanak?"
Aku menggeleng lemah, menjatuhkan diri ke atas kursi. "Loe bisa ganti menu nggak?" kataku menunjuk ke semangkuk besar sup khas Vietnam yang masih mengebulkan uap panas.
"Ganti menu? Kita ke sini untuk makan ini," dia menunjuk mangkuk besar yang juga terhidang di hadapanku dengan matanya. Aku segera mendorong mangkuk itu jauh-jauh.
"I can't stand this. Kita ganti restoran!" seruku, melambaikan tangan ke arah pelayan yang sedang berdiri tidak jauh dari kami.
"Loe gila ya, gue baru makan dua sendok. Nah punya loe, belum disentuh sama sekali!" sangkal Heidy, seolah aku baru saja mengusulkan untuk membersihkan Samudra atlantik dengan jarring ikan.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya si Embak pelayan dengan keramahan melebihi teller bank.
"Bisa minta bill?"
Mbak pelayan melayangkan tatapan ke mangkuk-mangkuk kami yang belum tersentuh. "Mau di bungkus supnya? Tapi nanti sudah nggak bakalan enak lagi."
Heidy melayangkan pandangan ke si Embak pelayan, lalu berganti menatapku dengan tatapan 'loe gila ya'. Aku tidak menggubris, dengan keras kepala meminta si embak untuk memberikan bil. "Saya sama sekali belum sentuh ini kok Mbak ... suer," aku mengacungkan dua jari. "Jadi kalau ada yang mau, nanti untuk pas istirahat."
Si Embak bengong.
"Loe lagi galau? Tadi minta ke sini, belum sempet nyendok makanan minta keluar!" seru Heidy bingung.
"I can't stand this. Kita cari makan di tempat lain aja," aku mengulurkan kartu kredit yang diterima si Embak dengan ragu-ragu. Sepertinya dia sependapat dengan Heidy, menganggapku gila, menggagalkan makan ketika menu sudah siap tersaji di meja.
*
Heidy menatap burger dan French fries di atas piring dengan tidak berselera, berulang kali dia mencoba menuangkan saos sambal favorit yang selalu berada di dalam tasnya – o yeah, believe me salah satu saos andalan produk negeri ini, bagaikan benda keramat yang selalu dia bawa ke mana-mana – seolah ingin mengeluarkan statemen betapa kecewanya dia setelah gagal menyantap sup nasional Vietnam itu.
"Nanti kita ke sana lagi, ok. Setelah gue selesai bermusuhan sama aroma sup itu," bujukku, menyomot kentang goreng dari atas piring. Setelah aku pikir, akhir-akhir ini aku bermusuhan dengan banyak sekali makanan. Ini bukan kali pertama perutku menjadi mual setelah berhadapan dengan makanan, ada tahu bakso sebelumnya, dan juga nasi goreng buatan Bik Surti yang biasanya selalu aku tandaskan dalam waktu singkat. Jelas ada yang salah di dalam sistim pencernaanku, kesalahan yang aku belum tahu apa.
"What's wrong with you, pake mual-mual segala?" tuntutnya, kali ini mengalah, mulai mengambil garpu dan pisau untuk mengiris burger. Siapa sih sebenarnya yang mempunyai ide untuk memberikan dua peralatan makan itu di samping sebuah burger? Ide yang menurutku sangat absurd.
Aku mengendikkan bahu, terhadap pertanyaan Heidy. If only I know.
"Mungkin loe hamil, orang hamil kan suka mual-mual gitu!"
Aku mendengus, hampir tertawa lebih tepatnya. Mungkin buat orang Indonesia, setiap rasa mual selalu identik dengan hamil, sama seperti di filem Hollywood kalau untuk melahirkan selalu dengan pecah ketuban. Walaupun jujur, aku nggak tahu menahu bagaimana proses melahirkan itu.
"Kalau memang bener gue hamil, loe bakal jadi orang pertama yang gue kasih tau. Ok!"
"Serius, itu nggak menutup kemungkinan lho!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Occupation, Motherhood
RomanceBatari Kirana sedang berada di puncak karirnya. Di usia 32 tahun dia menjadi business manager lokal pertama di industri fashion kelas dunia tempatnya bekerja. Muda, enerjik dan ambisius, dengan mudah dia mendapatkan cinta dan wibawa dari anak buahn...