29. Rekonsiliasi

2.8K 701 107
                                    

"Masak apa?"

Sendok nasi di tangan Rein nyaris terlempar saat Jeno dengan tampang masih mengantuk duduk di kursi makan, cowok itu menutup kepala menggunakan tudung hoodie, matanya masih cukup sembab tapi udah dipaksa melek padahal masih terlalu dini untuk bangun.

"Masak yang bisa gue masak aja sih. Gue bukan Nalini yang bisa masak segala."

Ah, Nalini.

Semalam setelah ngabisin Marlboro merah Luca sebatang, dia nggak langsung naik, nunggu malam makin larut buat nenangin pikiran. Mungkin emang tindakannya ini salah di mata beberapa orang, tapi bagi Jeno ini adalah hal terbenar yang emang harus dia lakukan.

Tanggungjawabnya sebagai ketua posko yang akan ditanya macam-macam jika terjadi sesuatu pada teman-temannya menjadikan dia cukup protektif. Jeno menyayangi mereka sama besarnya, menghormati kehidupan pribadi mereka sebelum bertemu sebagai teman KKN, dia sejauh ini nggak pernah melarang siapapun atau membuat aturan yang dirasa merugikan mereka. Tapi, untuk kasus Nana, Jeno bener-bener nggak bisa kompromi.

Saat dia pulang ke rumah di sore hari dan Rein bilang Nana belum ngabarin sama sekali, dia santai aja karena dia pikir, anak itu butuh healing dan ngobrol bareng temen deketnya bisa bikini dia lebih bahagia dan baik-baik aja.

Tapi, menjelang malam dan ponselnya mati, semua pikiran buruk mulai menghantui mereka. Ini jauh dari kehidupan modern mereka di kota, nggak semua bisa dimaklumi dan Jeno ngerasa harus ngambil tindakan.

"Re."

"Hm?"

"Nalini semalam nangis lama banget nggak?"

"Mayan sih. Menurut gue, Nalini anaknya emang nggak bisa dikerasin kali ya, bedalah mentalnya sama gue atau yang lain. Dia kayaknya nggak pernah ditegur keras, makanya pas lo gituin dia rada shock dan bingung."

Jeno tau, saat memutuskan untuk menjadi ketua kelompok, dia harus bisa menjadi tali yang menyambungkan semua pemikiran dan sifat berbeda yang teman-temannya tunjukkan.

Dia harus bisa berdiri di posisi netral, menegur yang salah siapapun dia, membela yang benar dan tentu menjadi orang yang memberikan contoh terlebih dulu.

"Gue nggak becus banget ya, Re?"

"Lah, lu kenapeee?"

Gadis itu berbalik setelah mencuci beras dan memasukkannya ke rice cooker.

"Gue masih belum bisa dewasa menghadapi masalah-masalah kayak kemarin."

"Hm, gimana ya, Jen," kedua tangannya menopang wajah, menatap Jeno yang masih menunggu jawabnya. "Gue nggak bisa nilai sih soalnya menurut gue, sejauh ini, lo udah ngelakuin yang terbaik dari yang lo bisa. Masalah Nana semalam nggak bisa lo jadiin acuan untuk menilai kinerja lu sendiri."

"Gitu?"

Lagi, kepalanya terangguk, "Dari gue sih ya, lo udah jadi ketua yang kompeten kok. Mungkin kalo ngerasa semalam lo keterlaluan, bisalah minta maaf."

Rencananya emang dia pengen ngajak Nana ngomong berdua aja, bertanya dengan kepala lebih dingin dan tentu meminta maaf. Dia nggak pengen cari masalah dengan siapapun dan nggak pengen anggotanya segan dan sungkan ke dia.

"Thank you, Re."

"Ya sama-sama."

***

"Nggak apa-apa kok." Hestia menepuk punggungnya pelan saat Nalini terbangun dan merenung di atas kasur.

"Malu sama yang lain, mamiii."

Perempuan berambut pendek yang kini diikat setengah itu tertawa kecil, "Udah nggak apa-apa, semalam aja tuh mereka panik. Sekarang udah aman."

unsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang