45. Boys Talk

1.2K 190 68
                                    

Berhubung panitia udah ditentukan, semua pun bergerak cepat di divisi masing-masing. Mars bolak-balik kecamatan mulu, bikin temen-temen kelompoknya khawatir cowok itu bakal tumbang lagi. Makanya, setiap kali ada meeting, minimal satu orang harus ikut, biasanya sih Dery atau Luca soalnya Jeno juga masih harus ngurusin perpisahan di desa.

Tapi, berhubung hari ini mereka mau ngomongin panggung dan lainnya, Jeno juga harus ikut, ninggali empat cewek-cewek yang sibuk ngelatih pementasan teater yang akan mereka persembahkan nanti.

"Nitip pringless sama pillow cake ya!"

"Oke."

"Nitip cimory juga."

"Iya."

"Gue mau milo dingiiiin."

"Mana duit lu pada?" Luca menadahkan tangan, yang dibalas gerutuan.

"Sama Jeno atau sama Mars aja. Kan mereka baik, lu peliiiit," jawab Rein.

"Kok Dery nggak disebut?"

Ngedenger itu, Hestia mundur beberapa langkah, nyembunyiin tawanya dibalik punggung Yara yang udah mampus-mampusin Rein.

"Ya ... yakan Mars tajir. Gih sana!"

Cewek itu narik lengan Nalini buat masuk ke dalam, padahal Nalini belum sempat ngomong mau nitip apa.

"MAS, AKU MAU YUPI."

"Iya sayang."

'DUILEH ASIK BENER UDAH SAYANG SAYANG."

Bola mata Mars berotasi malas, ngedorong punggung Luca ke dalam mobil, soalnya Jeno udah siap di belakang kemudi bareng Dery yang tumben diam.

"Berangkat ya."

"Okii. Hati-hati nyetirnya Jen."

"Thank you, Yaya."

Hestia dan Yara masih berdiri di halaman, ngeliatin jeep Mars sampe ilang dari pandangan sebelum neriakin Rein dan Nalini untuk berangkat ke balai desa.

Minggu-minggu terakhir menjelang perpisahan emang bikin mereka mellow, bayangan nggak bakal bisa ketemu lagi—karena mereka nggak satu fakultas—bikin overthinking. Tapi, Luca meyakinkan kalo mereka pasti bakal nyempatin waktu untuk sekadar haha hihi di tengah hecticnya ngurusin skripsi nanti.

"Nanti anak-anak diangkut pake pick-up berarti ya?" Hestia mencatat di buku, bareng Rein yang juga ngitungin pengeluran dan uang kas terakhir mereka.

"Iya. Kan bapak juga ikut. Eh, Hes, kayaknya kita harus patungan lagi deh ini buat beli kenang-kenangan ke adik-adik, kemarin kan cuma beli plakat sama piagam."

"Ah ... nanti omongin ke Jeno lagi deh. Gue sih nggak masalah."

"Sip sip."

Yara dan Nalini udah heboh ngelatih pementasan teater yang naskahnya ditulis oleh Yara sendiri, bertema cintai alam dan lingkungan sekitar, mereka mengambil judul Kami dan Paru-paru dunia.

Tujuannya tentu saja mengajarkan pada anak-anak untuk lebih mencintai hutan sebagai sumber oksigen utama manusia, juga mengajarkan mereka melawan penebangan liar yang semakin marak.

"Ayo adik-adik, kita mulai lagi ya!"

Suara Nalini terdengar lembut di antara angin yang berembus dari puncak gunung.

***

Perjalanan ke kecamatan emang bener-bener menguras tenaga dan emosi, Jeno yang biasanya kalem nggak keitung lagi udah ngomong kasar berapa kali saat ban mobil yang dia kemudikan masuk ke kubangan lumpur.

unsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang