Siang ini, langit nampak temaram sebab awan di atas sana sudah mulai menghitam serta matahari yang mulai tak
tampak lagi keberadaanya. Seorang perempuan dengan gamis abu-abu sejak beberapa menit lalu mematung di depan gedung Zal Cafe dengan pandangan yang mengarah pada dua orang yang tengah duduk di bangku dekat jendela. Ia mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan diri jika apa yang dilihatnya saat ini adalah nyata.Haifa merasakan dadanya kembali sesak. Di depan sana, Haifa bisa melihat sendiri Afzal tengah duduk dengan Ayla. Hanya berdua. Begitu jelas tampak raut bahagia di wajah Ayla. Perempuan itu tak berhenti menatap Afzal dengan senyum lebarnya. Namun, Haifa tak bisa dengan jelas melihat bagaimana ekspresi Afzal sekarang karena pria itu sejak tadi menunduk sambil memainkan ponsel.
Berbagai pikiran buruk kembali muncul. Kepalanya terasa pening dan pandangan mulai sedikit memburam. Haifa buru-buru berpegangan pada salah satu motor yang berada di sisi kiri, lalu mengembuskan napas panjang untuk sedikit menenangkan dirinya. Pandangan Haifa kembali beralih pada dua orang di depan sana yang kini sudah nampak mengobrol ringan. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun, mereka benar-benar terlihat sangat akrab.
Dengan langkah gontai, Haifa pun akhirnya memilih pergi dari sana, mengurungkan niat untuk masuk ke kafe suaminya itu. Lebih baik sekarang Haifa kembali pulang dan menenangkan pikiran yang sudah berkecamuk tak karuan. Dalam hati, Haifa terus berdoa agar semua tetap baik-baik saja. Apa yang dikatakan Ayla tidak mungkin benar, kan?
Astagfirullah
Haifa terus beristigfar hingga akhirnya ia turun dari angkutan umum tepat di depan gerbang perumahan. Tubuh Haifa benar-benar terasa lemas saat ini, ditambah kepalanya yang masih terasa pening.
"Haifa?"
Sebuah suara membuat Haifa langsung menoleh ke belakang. Tak jauh dari tempat Haifa berdiri, ada Afnan yang entah muncul dari mana. Pria itu sekilas memperhatikan Haifa dengan raut wajah bingung.
"Kamu enggak papa?" tanya Afnan yang mulai nampak khawatir melihat wajah pucat Haifa.
Perempuan itu menampakkan senyum tipisnya, lalu menggeleng. "Enggak papa, Nan," sahut Haifa seadanya. "Maaf, ya, Haifa duluan. Assalamu'alaikum"
Tanpa menunggu jawaban dari Afnan, Haifa memilih langsung beranjak dari sana, melanjutkan perjalannya menuju rumah dengan langkah cepat. Di belakang, Afnan pun ikut beranjak, lalu mengikuti langkah Haifa dengan jarak yang memang cukup jauh. Afnan tidak ada maksud apa-apa, hanya saja ia khawatir jika harus membiarkan Haifa berjalan sendiri dalam keadaan tidak baik seperti itu.
Setelah Haifa memasuki rumah, Afnan justru malah mematung di depan gerbang dengan perasaan khawatir. Apa Haifa benar tidak apa-apa? Namun, jika Afnan terus berdiri di sana, takut terjadi omongan yang tidak-tidak dari tetangga. Akhirnya, Afnan pun memilih pergi dengan harapan Haifa memang baik-baik saja.
🌹🌹🌹
"Kamu mau ngapain ke sini?" tanya Afzal tanpa basa-basi setelah ia selesai dengan urusan ponselnya yang sejak tadi ramai oleh chat dari grup kelas.
Perempuan yang duduk di depan Afzal itu tersenyum manis. "Mau ketemu, Mas, dong. Mau ngapain lagi?"
"Ayla, kita udah enggak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi, jangan ganggu saya!" ucap Afzal tegas. Sebenarnya, Afzal kesal, benar-benar kesal. Namun, seperti biasa ia tak pernah bisa marah, apalagi kepada perempuan.
"Mas, sekarang aku udah di sini. Kita bisa lanjutin rencana kita waktu itu. Kamu mau ngelamar aku, kan?" Ayla menatap Afzal penuh harap, sedangkan yang ditatap kini mengalihkan pandangan ke arah lain sambil mengembuskan napas kasar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...