Selama Afzal di Jakarta, rumah hampir tidak pernah sepi. Selain ada Umi Yamila dan Abi Arsyad yang masih memilih menginap di sini, hampir setiap hari juga Aydan selalu menyempatkan datang untuk menemani Haifa, lebih tepatnya mengusili perempuan itu. Maida juga jadi lebih sering berkunjung dan sesekali mengajak Haifa jalan-jalan santai di sekitar perumahan.
Afzal di sana sepertinya benar-benar sibuk. Pria itu hanya bisa menghubungi Haifa di malam hari saja, itu pun jika Haifa masih belum terlelap. Namun, Afzal masih selalu menyempatkan untuk mengabari Haifa di waktu-waktu tertentu meskipun hanya dengan mengirim pesan singkat saja. Haifa mencoba mengerti dengan hal itu meskipun sebenarnya ia sebal karena Afzal jadi hanya punya sedikit waktu untuknya.
"Assalamu'alaikum. Permisi!"
Suara seseorang dari arah luar langsung mengalihkan fokus Haifa yang tengah membaca di sofa ruang tamu. Perempuan itu pun bangkit dan berjalan dengan langkah pelan menuju gerbang depan sambil bertanya-tanya siapa yang datang sore-sore seperti ini.
"Wa'alaikumussalam. Sebentar, ya," sahut Haifa sambil membuka gerbang. Matanya sedikit melotot saat melihat sosok yang datang tersebut. "Afnan?"
Pria itu tersenyum canggung sambil menggaruk pelan tengkuknya. "Maaf, Fa, ganggu. Saya cuma mau ngasih titipan ini dari Maida," kata Afnan sambil menyodorkan satu kantung keresek ke depan Haifa.
"Dari Maida?" tanya Haifa sambil menerima keresek tersebut.
"Iya. Katanya dia enggak bisa ke sini. Jadi, dia nitipin itu ke saya," jelas Afnan masih dengan senyum canggungnya.
Haifa pun mengangguk paham sambil balas tersenyum singkat. "Makasih, ya, Afnan."
"Iya. Kalau gitu saya pamit, ya." Afnan tersenyum tipis, lalu matanya beralih menatap sekilas perut Haifa yang sudah mulai membesar. "Sehat-sehat, ya, Fa. Saya udah enggak sabar pengen liat bayi kamu."
"Eh?"
Pria itu hanya tersenyum melihat respon Haifa saat ini yang benar-benar terlihat lucu. Setelahnya, ia mengucap istigfar dalam hati karena lagi-lagi rasa kagum itu kembali muncul. Afnan buru-buru menyadarkan diri jika sekarang Haifa adalah milik orang lain. Ia tak mungkin bisa bersama dengan perempuan itu.
"Saya permisi, ya, Haifa. Assalamu'alaikum." Afnan akhirnya memilih bergegas pergi dari sana sebelum perasaanya kembali tak karuan.
"Wa'alaikumussalam." Haifa membalas ucapan salam dari Afnan sambil memperhatikan punggung pria itu yang semakin menjauh.
"Fa, lagi apa? Tadi siapa yang datang?"
Haifa langsung menoleh dan menatap ke arah Abi Arsyad yang entah sejak kapan berada di belakang Haifa. Perempuan itu menutup gerbang terlebih dahulu sebelum menghampiri ayah mertuanya itu.
"Tadi ada temen Haifa nganterin titipan dari Maida, Bi," jawab Haifa sambil mengangkat sedikit kantung keresek di tangannya yang ternyata berisi satu porsi lumpia basah dan minuman Thai Tea.
"Cowok, ya?"
Haifa langsung balas mengangguk pelan. "Iya, Bi. Tapi Haifa enggak ngapa-ngapain, kok. Tadi ngobrol sebentar aja."
Abi Arsyad tersenyum, lalu mengangguk. "Iya. Abi enggak mikir yang aneh-aneh, kok, Haifa. Kamu enggak usah takut kayak gitu."
"Ha-Haifa takut Abi salah paham aja," sahut Haifa sambil menunduk malu. "Soalnya suka ada yang mikir aneh-aneh sama Haifa."
"Siapa yang suka kayak gitu sama kamu?"
"Ya, ada aja, Bi."
"Oh, ya udah enggak usah dipikirin, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomansaMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...