Haifa mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang mulai menerobos masuk ke retinanya. Perempuan itu sontak melotot kaget saat melihat ke arah jam dinding yang kini menunjukan pukul setengah tiga sore. Ternyata ia tadi ketiduran setelah menulis beberapa bab untuk ceritanya yang sudah lama terbengkalai di aplikasi Wattpad.
Perempuan itu mencoba bangkit dengan perlahan sambil memegang perut yang sudah mulai membesar. Tidak terasa, kehamilan Haifa saat ini sudah menginjak usia lima bulan. Haifa bersyukur karena Allah mempermudah semua jalannya. Ia juga benar-benar berterima kasih pada Afzal karena selama ini pria itu selalu sabar menghadapi dirinya yang terkadang begitu sensitif.
Ternyata begini rasa senangnya menjadi calon ibu yang begitu menantikan kelahiran sang buah hati. Sebelumnya, Haifa tak pernah membayangkan akan menjadi perempuan sebahagia ini. Dicintai oleh pria yang benar-benar tulus dan memperlakukannya dengan begitu istimewa. Diterima dan dianggap begitu berarti. Haifa tak pernah menduga jika ia bisa menjadi berharga bagi orang lain seperti sekarang.
"Assalamu'alaikum."
Haifa yang baru keluar kamar bisa langsung mendengar suara seseorang dari lantai bawah. Perempuan itu pun berjalan menuruni tangga dengan langkah pelan. Sebenarnya, Afzal selalu mewanti-wanti Haifa untuk tidak sering naik-turun tangga karena khawatir, apalagi Haifa tengah hamil besar seperti sekarang. Namun, mau bagaimana lagi. Kamarnya yang berada di lantai atas membuat Haifa harus tetap berurusan dengan yang namanya tangga.
"Haifa, udah kamu diem aja. Jangan turun, biar saya yang ke sana."
Teriakan Afzal itu membuat Haifa berhenti di anak tangga ke dua. Sesuai titah Afzal barusan, Haifa tetap diam di sana sambil memperhatikan Afzal yang berjalan menghampirinya. Pria itu tersenyum hangat, lalu mengecup lembut puncak kepala Haifa, berbarengan dengan perempuan itu yang menyalami punggung tangan Afzal.
"Kenapa masih berdiri di tangga kayak gini?" tanya Afzal sambil menatap hangat perempuan di depannya itu.
"Mas, kan, tadi nyuruh diem. Ya udah, ini Haifa diem," sahut Haifa dengan tampang polos.
"Bukan begitu maksudnya, Haifa." Afzal menghela napas pelan, lalu mencubit pelan pipi putih Haifa. "Maksud saya itu, tunggu aja di atas, jangan turun ke bawah."
"Oh ...." Haifa membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut pelan. "Kirain suruh tunggu di sini."
Afzal hanya geleng-geleng, lalu membawa Haifa kembali menuju kamar. Afzal begitu hati-hati menuntun Haifa, padahal sebenarnya Haifa bisa berjalan sendiri. Semenjak Haifa hamil, Afzal memang dua kali lebih perhatian dari biasanya. Afzal benar-benar berusaha untuk tidak membiarkan Haifa capek.
"Saya mandi dulu, ya, Fa. Setelah ashar nanti, ada yang mau saya omongin sama kamu."
🌹🌹🌹
Di balkon kamar, keduanya sejak tadi hanya saling tatap tanpa mengatakan apa-apa. Afzal yang bingung harus memulai pembicaraan dari mana, sementara Haifa justru memilih menunggu Afzal membuka suara terlebih dahulu. Ada hal penting yang memang harus Afzal bicarakan pada perempuan itu, tetapi terasa berat untuk Afzal utarakan.
Pria itu kini tersenyum tipis, lalu mengelus lembut perut Haifa yang sudah mulai membesar itu. Afzal mengembuskan napas pelan sebelum benar-benar berbicara. "Fa, lusa, saya harus ikut pelatihan ke Jakarta," ucap Afzal akhirnya.
Tentu saja Haifa langsung menoleh pada pria itu dengan kening berkerut. "Pelatihan apa? Kok, jauh banget ke Jakarta?"
"Pelatihan guru, Fa. Memang acaranya di Jakarta," jelas Afzal sambil menatap lekat perempuan di depannya itu.
"Berapa lama?"
"Satu minggu."
Haifa langsung melotot kaget. Apa-apaan satu minggu? Menurut Haifa itu adalah waktu yang sangat lama. Satu hari saja sudah tidak bisa, apalagi satu minggu. Haifa benar-benar tidak mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...