Menikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka?
Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...
Denting yang berbunyi dari dinding kamarku Sedarkan diriku dari lamunan panjang Tak terasa malam kini semakin larut Ku masih terjaga
Sayang kau dimana aku ingin bersama Aku butuh semua untuk tepiskan rindu Mungkinkah kau disana merasa yang sama Seperti dinginku di malam ini
Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini Kita menari dalam rindu yang indah Sepi ku rasa hatiku saat ini oh sayangku Jika kau disini aku tenang
=Melly Goeslaw - Denting=
🌹🌹🌹
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pukul setengah delapan malam, Haifa duduk di atas sajadah bersama Al-Qur'an kecil dalam genggaman. Dengan susah payah Haifa tetap membaca surat Al-Mulk seperti biasa meskipun tenggorokannya terasa tercekat bersamaan dengan isakan tangis yang mati-matian ia tahan. Semuanya benar-benar terasa berbeda. Kosong dan hampa.
Perempuan itu mendongak dengan tangis pilu yang kembali terdengar memenuhi setiap sudut ruangan yang kali ini begitu tampak kosong. Haifa tidak menemukan lagi Afzal ada di depannya seperti biasa, tersenyum hangat sambil mengelus lembut puncak kepala Haifa saat ia selesai dengan bacaan Al-Mulk-nya. Haifa tidak bisa menemukan lagi Afzal mencubit pelan hidung kecilnya ketika Haifa keliru. Semua telah hilang dan yang tersisa hanya bayang-bayang Afzal yang tak bisa lagi Haifa gapai.
Haifa belum sempat mengatakan kabar bahagia jika ia sudah berhasil menghafal dua juz Alquran. Belum sempat Afzal mendengarkan hafalannya sampai akhir dan masih banyak lagi hal yang belum sempat Afzal lakukan bersama perempuan itu. Setelah ini, siapa yang akan mendengar setoran halafan Haifa? Siapa yang akan menemani Haifa mengaji seusai sholat isha seperti biasa? Sosok itu sudah tidak akan ada lagi karena ia benar-benar telah pergi.
Mulai hari ini, Haifa harus belajar lebih keras untuk menahan rindu yang tidak akan bisa berakhir temu. Haifa harus belajar terbiasa tidur tanpa peluk Afzal seperti dulu. Ia harus terbiasa melakukan apa-apa sendiri tanpa ada lagi sosok Afzal yang menemani.
Tubuh Haifa mendadak bergetar hebat bersamaan dengan suara gemuruh hujan di luar yang semakin terdengar memekakkan telinga. Rasa sakit sebab kehilangan masih terus saja menyiksa, membuat dadanya terasa terhimpit batu besar hingga menimbulkan sesak yang luar biasa. Haifa ingin menjerit, menyerukan nama Afzal agar sosok itu kembali memeluknya, membisikkan kata-kata penenang seperti biasa. Namun, semua itu adalah hal yang tak mungkin lagi Haifa dapat. Maka dengan napas yang tercekat, Haifa akhirnya hanya mampu memeluk diri sendiri bersama tangis yang tak kunjung berhenti.
Allah, kenapa harus sesakit ini?
Bersamaan dengan mata yang terpejam, Haifa kembali menemukan sosok Afzal yang tersenyum hangat padanya. Pria itu membawa ingatan Haifa pada suatu malam ketika mereka tengah duduk di balkon kamar sambil menatap bintang yang bercahaya di atas sana, ditemani masing-masing satu gelas cokelat panas yang sengaja Afzal buat untuk mereka di malam itu.