Afzal mendudukkan dirinya di kursi ruang guru setelah selesai mengajar di salah satu kelas. Keadaan ruang guru kali ini benar-benar sepi karena guru-guru masih sibuk mengajar di kelas masing-masing, hanya menyisakan pria itu dan satu guru lain di meja pojok yang juga nampak sibuk dengan laptopnya.
Afzal meraih ponsel di saku celana, berniat untuk mengubungi Haifa. Namun, sebuah notifikasi dari nomor baru lebih menarik perhatian Afzal kali ini. Setelah membuka pesan tersebut, Afzal langsung mengembuskan napas kasar. Ia benar-benar menyesal karena membaca pesan itu. Kalau tahu begini, Afzal sama sekali tidak akan mau membukanya.
Tak lama, satu notifikasi pesan masuk kembali muncul dari nomor yang sama. Meskipun nomor baru, tetapi Afzal tahu siapa si pengirim pesan tersebut. Afzal mencoba untuk tidak peduli dan langsung menghapus pesan itu. Yang ia khawatirkan selama ini akhirnya terjadi. Perempuan itu kembali lagi.
Afzal terus beristigfar untuk menenangkan hatinya yang mulai gelisah. Ia kembali melirik ke arah ponsel dan melanjutkan niat awal untuk menghubungi Haifa. Namun, baru saja Afzal ingin menekan tombol panggilan di layar ponsel, sebuah suara yang amat ia kenal sudah lebih dulu mengalihkan perhatian.
"Assalamualaikum."
Afzal mendongak, lalu menoleh ke arah pintu. Di sana ada sosok Haifa yang tengah tersenyum sambil melambai ke arahnya. "Wa'alaikumussalam," jawab Afzal sambil mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan jika matanya sedang tidak salah lihat.
Sementara itu, satu guru yang duduk di kursi pojok hanya melirik sekilas sambil menjawab salam, lalu kembali fokus dengan laptopnya, tidak terlalu peduli dengan kedatangan Haifa. Afzal melirik sekilas ke arah guru itu, lalu bangkit dan menghampiri Haifa yang masih setia berdiri di ambang pintu.
"Haifa, ada apa? Kenapa enggak bilang mau ke sini?" tanya Afzal sambil membawa Haifa untuk mengobrol di luar.
"Maaf, Mas, Haifa enggak izin. Tadi Maida tiba-tiba minta Haifa buat nganter dia ke sini. Katanya ada urusan sama wali kelas kami dulu. Mereka sekarang lagi ngobrol berdua. Haifa bosen nunggu, jadi nemuin Mas. Enggak papa, kan?" jelas Haifa. Maida dan dirinya memang alumni di sekolah ini dan entah ada apa, wali kelas mereka dulu tiba-tiba meminta Maida untuk menemui beliau.
"Enggak papa, Fa. Saya lagi luang juga, kok, baru selesai ngajar," balas Afzal sambil tersenyum. "Tapi kalau nunggu di sini enggak ada kursi, Fa. Mau di dalem aja?"
Haifa langsung balas menggeleng. "Enggak mau, Mas. Gak enak kalau di dalem."
"Terus mau ke mana? Kalau berdiri terus di sini, nanti kamu pegel," ucap Afzal, "atau mau ke kantin aja? Mau jajan?"
"Mau!" Haifa langsung mengangguk semangat. "Mau beli minum. Haifa haus."
Afzal pun tertawa kecil, lalu mengangguk. Kini mereka berjalan beriringan menuju kantin dengan tatapan Afzal yang sesekali memperhatikan Haifa. Kehadiran perempuan itu benar-benar mengobati kegelisahannya beberapa menit lalu. Ia kembali yakin jika semuanya akan tetap baik-baik saja.
🌹🌹🌹
"Ini mi pedas Korea punya siapa di atas meja?"
Afzal sedikit berteriak sambil mengambil satu bungkus mi yang tergeletak di atas meja makan. Sebenarnya, Afzal tahu siapa pemilik mi tersebut, sudah pasti Haifa.
"Punya Haifa, Mas. Haifa mau makan mi," sahut Haifa yang kini tengah berjalan menuruni tangga sambil tersenyum lebar. "Sini, Mas. Itu punya Haifa, tadi baru beli dari warung."
Afzal mengangkat tinggi-tinggi mi tersebut agar tidak bisa dijangkau oleh Haifa. "Gak ada, Haifa. Kamu baru aja sembuh, enggak usah ngada-ngada, ya," omel Afzal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...