"Pak Guru, jagain atuh istrinya, masa tadi dia ngobrol sama cowok lain di pinggir jalan."
Afzal yang baru saja hendak memasukkan motornya ke halaman rumah sontak menoleh setelah mendengar ucapan seorang wanita paruh baya yang Afzal tahu sebagai pemilik rumah di sebelah. Di perumahan ini, beberapa orang memang sudah mengenal Afzal dan sering memanggil pria itu dengan sebutan Pak Guru, bahkan tak jarang mereka menambahkan embel-embel kata 'ganteng' di akhir.
"Iya, Bu. Terima kasih sudah mau peduli sama istri saya," jawab Afzal dengan balas tersenyum sopan.
Wanita yang sudah nampak tak muda lagi itu mengangguk dengan senyum terpaksa. "Iya, Pak, hati-hati aja, ya," katanya.
Afzal tersenyum lagi, lalu mengangguk. "Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih," balas Afzal, "kalau gitu, saya masuk dulu, ya, Bu, permisi. Assalamu'alaikum." Afzal memutuskan untuk buru-buru masuk sebelum wanita itu kembali berbicara.
Setelah memarkirkan motor dan kembali menutup gerbang, Afzal langsung melangkah memasuki rumah dan mengucap salam. Nampak Haifa tengah berjalan terburu-buru dari lantai atas dengan senyuman tipisnya. Afzal ikut tersenyum. Lelah yang sedari tadi pria itu rasakan seolah hilang begitu saja setelah ia menatap wajah Haifa yang selalu terlihat menggemaskan.
"Gak usah buru-buru, Fa, jalannya, nanti jatuh," tegur Afzal saat Haifa tengah menyalami punggung tangannya. Afzal lalu mengecup puncak kepala Haifa dan mengelusnya pelan.
Haifa masih sedikit kaget dengan perlakuan Afzal barusan karena belum benar-benar terbiasa. Namun, Haifa yakin Afzal pasti akan selalu melakukan hal itu setiap ia pulang bekerja dan Haifa harus mulai terbiasa menerimanya, jangan terus-terusan tegang seperti sekarang.
"Iya, Mas. Haifa, kan, mau nyambut Mas, jadi harus buru-buru." Haifa memamerkan deretan gigi putihnya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Afzal hanya balas tersenyum, lalu mereka berjalan beriringan menuju dapur. Afzal langsung memilih duduk di meja makan sambil meneguk air yang Haifa berikan. Afzal melirik sekilas Haifa yang kini sudah duduk di sebelahnya sambil memperhatikan Afzal dengan senyum yang belum pudar.
"Fa, saya boleh tanya?" ucap Afzal sedikit ragu.
Haifa mengangguk. "Tanya aja, Mas. Haifa pasti jawab, kok."
"Tadi kamu ketemu sama siapa?" tanya Afzal sambil menatap Haifa lekat.
Haifa berpikir sejenak, merasa kurang paham maksud pertanyaan Afzal barusan. "Ketemu sama Maida. Haifa, kan, udah izin."
"Cowok, Fa."
"Cowok?" Haifa lagi-lagi diam sejenak untuk mencerna ucapan Afzal. Detik berikutnya, Haifa baru ingat jika tadi ia memang bertemu dengan cowok, yaitu Afnan. "Oh, Afnan, Mas? Dia temen Maida, tadi enggak sengaja aja ketemu dan cuma saling sapa doang. Haifa enggak ngapa-ngapain, Mas, serius. Maafin Haifa," jelas Haifa dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba ia takut jika Afzal marah.
Afzal nampak mengangguk pelan. "Oh, ya udah, enggak papa."
"Mas, maafin Haifa. Mas jangan marah," ucap Haifa dengan mata yang menyiratkan perasaan takut.
"Eh, kamu kenapa, Fa?" Afzal sontak panik melihat Haifa yang nampak ingin menangis. "Saya enggak marah, Haifa. Saya cuma tanya. Saya enggak akan marah sama kamu."
Haifa langsung menunduk malu karena hampir saja menangis di depan Afzal. Entah kenapa Haifa benar-benar merasa takut jika Afzal marah karena hal ini. Haifa sempat berpikir, kenapa Afzal bisa tahu jika ia bertemu Afnan? Apa ada yang bilang pada pria itu?
"Haifa, liat saya sini," ujar Afzal yang langsung membuat Haifa mendongak. Afzal mengelus lembut pipi Haifa seraya tersenyum hangat. "Saya enggak marah. Kamu juga enggak salah. Saya enggak ngelarang kamu ketemu siapa pun asal kamu tahu batasannya dan tahu kalau sekarang kamu itu perempuan saya. Jadi, saya percaya kamu bisa membatasi diri. Bisa dimengerti, Haifa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...