BAB 11

104 22 11
                                    

Afzal berjalan menuju parkiran dengan langkah tergesa dan pikiran yang tidak tenang. Untung saja Afzal langsung diizinkan pulang lebih dulu setelah menjelaskan keadaan istrinya yang sedang sakit dan sendirian di rumah. Selama perjalanan menuju parkiran, Afzal terus saja memperhatikan keadaan sekitar sambil sedikit menurunkan topi yang ia pakai. Wajah Afzal pun kini tertutup dengan masker hitam dan hanya menampakkan dua matanya saja.

Afzal sengaja berpenampilan seperti ini agar tidak dikenali. Sesuai dugaan Afzal kemarin, di sini ia benar-benar bertemu lagi dengan perempuan itu. Namun, untung saja Afzal langsung sadar dan buru-buru menghindar hingga tidak ada acara tegur sapa diantara keduanya. Afzal khawatir jika sekarang ia berpapasan lagi dengan perempuan itu. Jadi, Afzal lebih dulu memutuskan untuk berpenampilan tertutup seperti ini agar tidak ada yang mengenali.

Setelah masuk mobil, Afzal baru bisa bernapas lega dan buru-buru melepas maskernya karena pengap. Tanpa menunggu lama, Afzal langsung menjalankan mobil dan keluar dari area parkir. Pria itu berharap semoga kali ini jalanan tidak macet agar ia bisa cepat-cepat sampai rumah.

Sekitar satu jam lebih di perjalanan, akhirnya mobil Afzal kini sudah terparkir rapi di halaman. Dengan langkah buru-buru, Afzal berjalan memasuki rumah setelah mengucap salam dan tak ada sahutan sama sekali. Afzal langsung bergegas menuju lantai atas dan membuka pintu kamar dengan pelan. Sekarang, ia dapat melihat Haifa yang tengah tertidur dengan selimut yang menutupi tubuh hingga setengah wajahnya.

"Astagfirullah," ucap Afzal pelan setelah ia menempelkan punggung tangannya ke dahi Haifa dan merasakan panas yang cukup tinggi.

Haifa kini nampak sedikit bergerak, lalu perlahan matanya terbuka dan mengerjap beberapa kali. "Mas?"

"Iya, Haifa. Ini saya," sahut Afzal sambil mengelus pelan surai hitam milik Haifa. Perempuan itu terlihat ingin bangun, tetapi langsung dicegah oleh Afzal. "Udah, kamu tidur aja enggak papa."

"Mas, maafin Haifa. Mas udah pulang, tapi di rumah enggak ada apa-apa. Haifa enggak masak. Mas pasti lapar, ya?" ucap Haifa merasa bersalah.

Afzal sontak tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Enggak papa, Haifa. Kamu juga, kan, lagi sakit,' jawab Afzal. "Kenapa kamu bisa kayak gini? Kemarin makan apa?"

"Maaf, Mas." Haifa menunduk takut. "Ke-kemarin Haifa enggak makan nasi, cu–cuma makan mi."

Terdengar helaan napas kasar keluar dari mulut Afzal. "Mi yang pedes, kan?" tanya Afzal lagi yang langsung dibalas anggukan lemah oleh Haifa.

Afzal tahu betul dengan kebiasaan Haifa yang begitu suka dengan makanan pedas, padahal ia sudah tahu jika akhirnya pasti akan seperti ini. Afzal ingin sekali mengomeli Haifa sekarang juga, tetapi melihat perempuan itu yang nampak takut membuat Afzal tak tega dan memilih untuk mengurungkan niatnya.

"Sekarang kita ke dokter, ya?" ujar Afzal dengan tatapan teduh.

Haifa buru-buru menggeleng, lalu mengubah posisi menjadi duduk "Enggak mau! Enggak mau pergi ke dokter, Mas."

"Nurut sama saya, Haifa," ucap Afzal tegas.

Lagi-lagi Haifa menggeleng dengan wajah yang sudah terlihat ingin menangis. "Mas, Haifa udah bosen sama obat-obatan kayak gitu. Haifa enggak mau lagi."

Haifa memang sudah terlalu sering meminum obat-obatan untuk penyakit magnya yang memang mudah kambuh. Namun, Haifa terlihat tak pernah kapok dan malah mengulangi terus-menerus kesalahan yang sama.

"Kalau bosen, kenapa kamu masih bandel? Udah tau kalau makan yang pedes-pedes pasti kayak gini, tapi kenapa masih dilakuin?"

Haifa akhirnya terisak saat itu juga. Sebenarnya, Afzal tidak membentak, sama sekali tidak. Namun, ucapan dan nada tegas dari pria itu sukses membuat Haifa tertampar. Ia memang terlalu menuruti keinginannya tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi.

Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang