BAB 2

235 54 165
                                    

Hari Sabtu pagi saat matahari baru memunculkan sebagian cahayanya, Haifa sudah berjalan santai menyusuri jalan kecil menuju sebuah warung di dekat rumah. Tadi ibunya meminta Haifa membeli bahan-bahan makanan untuk keperluan memasak nanti siang.

Tak jauh di depan sana, sudah terlihat sebuah warung kecil yang dipenuhi oleh ibu-ibu. Sebenarnya, Haifa selalu tidak nyaman saat bergabung dengan perkumpulan ibu-ibu itu, tetapi mau bagaimana lagi, masa Haifa harus tetap berdiri di sana dan menunggu mereka pulang?

Tepat di dekat sebuah tembok samping warung, Haifa memilih berhenti ketika mendengar namanya disebut-sebut oleh ibu-ibu yang sedang memilih-milih sayuran. Haifa mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik tembok sambil mendengarkan setiap perkataan ibu-ibu di warung itu.

"Gak nyangka, ya, anak sulungnya Bu Asifa tiba-tiba nikah aja."

"Iya, mendadak banget, pasti ada apa-apa, sih, itu."

"Si Haifa itu, kan, anaknya jarang keliatan, ya. Saya enggak pernah liat, tuh, dia main-main sama cowok, tapi tiba-tiba udah nikah aja."

"Mendadak-mendadak gini emang pasti karena udah ngisi duluan."

"Ya, kita liat aja kedepannya, nanti juga ketauan kalau emang kayak begitu, Ibu-ibu."

Hati Haifa memanas setelah mendengar perkataan ibu-ibu tadi. Ia mengembuskan napas panjang untuk sekedar mengontrol emosinya. Jangan sampai ia melabrak ibu-ibu itu dan menyumpal mulut mereka satu-satu agar berhenti bergosip yang tidak-tidak. Memang apa salahnya dengan pernikahan yang tiba-tiba? Kenapa hal itu selalu mengundang pemikiran buruk dari sebagian orang?

Terlanjur kesal, Haifa memutuskan untuk tidak jadi berbelanja dan langsung pulang saja. Sang ibu pasti mengerti dan tidak akan marah cuma karena hal ini. Haifa sudah benar-benar malas jika harus bertemu dengan ibu-ibu itu. Ia tidak bisa pura-pura baik-baik saja di depan mereka setelah mendengar perkataan-perkataan tidak mengenakkan tadi.

🌹🌹🌹

"Lho, belanjaannya mana, Fa?"

Pertanyaan yang pertama kali Haifa dengar ketika ia memasuki rumah tanpa membawa apa-apa. Semua orang yang ada di rumah memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Haifa tak terlalu memperdulikan, bahkan ia melewati begitu saja Afzal yang tengah duduk bersama Pak Eshan di ruang tamu.

"Maaf, Bu. Haifa enggak jadi belanja. Nanti sama Ibu aja belanjanya. Sekali lagi maaf, Bu." Haifa menyerahkan kembali uang yang tadi ibunya kasih. "Haifa ke kemar dulu," katanya, kemudian berlalu dari sana.

Bu Asifah hanya bisa memandang kepergian putrinya itu dengan tatapan heran. Tidak biasanya Haifa bersikap seperti itu. Pasti ada sesuatu yang terjadi saat Haifa tadi pergi ke warung.

"Teteh kenapa, Bu?" tanya Aydan yang juga sama herannya dengan yang lain.

"Ibu juga enggak tau," jawab Bu Asifah seadanya.

Sementara itu, Afzal yang tengah duduk bersama sang mertua langsung memilih pamit untuk menyusul Haifa. Ia merasa perlu bertanya apa yang terjadi dengan istrinya itu. Meskipun sempat berpisah dua tahun, tetapi Afzal masih tahu betul dengan sikap Haifa yang seperti ini. Pasti ada hal tidak mengenakkan terjadi pada perempuan itu.

Dengan pelan, Afzal membuka pintu kamar dan matanya langsung menangkap sosok Haifa yang tengah duduk di atas ranjang sambil memeluk lutut. Tatapan perempuan itu nampak kosong. Afzal pun langsung memilih mendekat dan mengambil duduk di depan Haifa. Ia memamerkan senyum tipis sebelum memulai pembicaraan.

"Ada apa, Haifa? Ada yang ganggu kamu tadi?" tanya Afzal dengan tatapan lembut.

Tak ada jawaban. Haifa masih diam dengan tatapan kosongnya.

Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang