BAB 9

97 24 20
                                    

Haifa hanya bisa mematung di tempat ketika melihat Afzal yang berlalu begitu saja setelah Haifa menyalami punggung tangan pria itu. Tak ada kecupan dan usapan lembut di puncak kepala Haifa seperti sebelum-sebelumnya, bahkan tatapan Afzal kali ini terasa begitu berbeda.

Tak ingin berpikir yang aneh-aneh, Haifa memilih untuk menyusul Afzal yang sudah berjalan menaiki tangga. "Mas mau Haifa buatkan teh?" tawar Haifa dengan sedikit berteriak.

"Gak usah."

Lagi-lagi Haifa hanya bisa mematung setelah mendengar nada suara Afzal barusan. Terasa begitu dingin sampai membuat tubuh Haifa seolah membeku. Apa ia melakukan kesalahan hingga membuat Afzal bersikap seperti itu padanya? Namun, Haifa merasa tak melakukan apa-apa, lantas apa yang membuat Afzal seperti ini?

Haifa mencoba untuk tetap berpikir positif. Ia pun memilih berjalan ke arah dapur untuk membuat teh meskipun Afzal tadi menolaknya. Setelah selesai, Haifa bergegas menyusul Afzal dengan satu gelas teh hangat yang ia bawa.

Dengan pelan, Haifa membuka pintu kamar yang memang tidak tertutup rapat. Kini, nampak Afzal tengah duduk di tepi ranjang sambil menunduk dengan tangan yang mencengkram erat rambut hitamnya. Haifa semakin merasa khawatir melihat Afzal yang seperti itu.

"Mas?" panggil Haifa setelah ia menyimpan teh yang tadi ia bawa di atas nakas.

Afzal melepaskan cengkraman pada rambutnya, lantas mendongak. "Haifa," lirih Afzal.

"Iya, Mas? Mas kenapa? Kalau Haifa ada salah, Haifa minta maaf," jawab Haifa, lalu menunduk takut.

Afzal nampak mengusap wajahnya kasar, lalu kembali menatap Haifa. "Fa," panggil Afzal dan langsung membuat Haifa kembali mendongak. "Saya mau peluk."

"Hah?" Haifa membulatkan matanya, lalu mengerjap beberapa kali. "Gimana, Mas?"

"Saya mau peluk kamu, Haifa," ujar Afzal memperjelas.

Haifa kembali mengerjap, lalu detik berikutnya ia mengembangkan senyum tipis sambil berjalan mendekat pada Afzal yang masih duduk di tepi ranjang. "Mau peluk? Sini," ucap Haifa sambil sedikit merentangkan tangannya saat ia sudah berdiri di depan Afzal.

Afzal pun langsung memeluk Haifa erat, seolah tak mau lepas. Afzal menenggelamkan wajahnya di perut Haifa dengan mata terpejam, sedangkan perempuan itu mengusap lembut kepala Afzal. Haifa bisa merasakan jika Afzal saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"Mas lagi capek banget, ya?" tanya Haifa.

Afzal masih enggan mengubah posisi, bahkan hanya untuk sekedar mendongak pun Afzal tak mau. Ia masih ingin tetap seperti ini, memeluk Haifa tanpa mau lepas. "Maafin saya, Haifa. Saya enggak ada maksud bersikap dingin sama kamu kayak tadi. Saya minta maaf, Haifa," ucap Afzal lirih. Ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Iya, enggak papa, Mas. Haifa tau Mas lagi capek," balas Haifa, "kalau ada masalah, Mas boleh ngeluh dan cerita apa pun sama Haifa. Jangan disimpen sendiri."

Kali ini, Afzal pun mendongak tanpa melepaskan lingkaran tangannya pada pinggang Haifa. "Kamu enggak marah sama saya?"

Haifa menggeleng. "Enggak, Mas. Kenapa harus marah? Justru Haifa yang takut ada salah sampe buat Mas bersikap kayak tadi."

"Maafin, saya." Afzal kembali menenggelamkan kepalanya di perut Haifa.

"Iya, enggak papa," jawab Haifa, "Mas mending mandi dulu biar seger lagi. Nanti kita cerita-cerita."

"Enggak. Biar gini dulu, Fa. Sebentar aja," ucap Afzal pelan.

Haifa pun tersenyum tipis, lalu kembali mengusap lembut puncak kepala Afzal. "Ya udah, enggak papa, peluk aja sampe Haifa pegel, Mas."

Pilihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang