Di depan cermin, Haifa menatap pantulan wajahnya yang masih menampakan beberapa sisa make up bekas acara tadi siang. Sesekali Haifa melirik ke arah pria yang tengah duduk di tepi ranjang dengan pandangan fokus menatap ponsel. Beberapa kali perempuan itu menepuk-nepuk pipinya, meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi sekarang bukanlah mimpi.
Haifa masih tak percaya jika ia saat ini sudah menjadi seorang istri dari pria yang berstatus sebagai sahabatnya di masa lalu. Hampir dua tahun berpisah dan tak saling bertukar kabar, lalu tiba-tiba dipersatukan kembali dalam ikatan pernikahan. Haifa sama sekali tak pernah membayangkan akan terjadi hal semacam ini.
"Haifa, kamu kenapa?" tanya Afzal, merasa heran karena melihat Haifa sejak tadi tak berhenti menepuk-nepuk pipinya, lalu menggeleng-geleng tak jelas. Entah apa yang sedang perempuan itu pikirkan sampai membuat ia bertingkah seperti itu.
Mendengar Afzal membuka suara, Haifa langsung menegakkan tubuhnya, lalu menoleh. "E–enggak kenapa-kenapa, Zal." Haifa nyengir sambil garuk-garuk kepala yang tertutup jilbab. "Eh? Astagfirullah, maaf," ucap Haifa setelah menyadari bahwa ia salah berucap. Haifa merasa tidak sopan karena memanggil Afzal yang kini berstatus sebagai suaminya itu hanya dengan sebutan nama saja, tidak memakai embel-embel lain yang lebih sopan.
Di tempatnya, Afzal mengulum senyum melihat tingkah Haifa. Setelah lama tidak bertemu, ternyata sikap Haifa benar-benar tidak berubah sama sekali. "Panggil saya mas aja," katanya.
"I–iya, Mas." Haifa seketika meringis pelan setelah mengatakan itu. Rasanya aneh saja tiba-tiba memanggil Afzal dengan tambahan 'Mas'. Dulu Haifa memanggilnya dengan nama saja meskipun Afzal tiga tahun lebih tua dari Haifa.
"Bener kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Afzal lagi yang sepertinya belum yakin dengan jawaban Haifa.
Haifa mengangguk cepat sambil tersenyum tipis. "Bener, Mas," jawabnya, "Mas mau teh atau kopi? Haifa buatin." Sebenarnya, ini hanya cara Haifa saja agar bisa keluar dari kamar. Ia benar-benar belum bisa jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Afzal.
"Boleh, teh aja," balas Afzal singkat.
Haifa langsung mengangguk, lalu pamit ke dapur. Perempuan itu mengembuskan napas panjang saat berhasil keluar dari kamar. Rasanya, ia baru bisa bernapas normal sekarang. Satu ruangan dengan Afzal benar-benar membuatnya merasa kekurangan banyak oksigen.
Perempuan yang kini mengenakan rok hitam polos, dipadukan dengan kaus coklat, serta jilbab instan dengan warna senada itu menuruni tangga dengan langkah cepat. Di dapur, sudah ada Ibu Asifah yang tengah menyiapkan beberapa makanan. Di depannya, ada Aydan yang hanya duduk-duduk santai di kursi meja makan sambil menopang dagu.
"Bu, kok, enggak manggil Haifa? Kan, nanti Haifa bisa bantu," ucap Haifa setelah ia sampai di dapur.
Setelah acara pernikahan tadi yang digelar dengan sederhana, keadaan rumah memang nampak seperti biasa karena para anggota keluarga lain memilih langsung pulang ke rumah masing-masing tanpa menetap lebih lama di sini. Jadi, sekarang hanya ibunya saja yang membereskan sisa-sisa pekerjaan yang belum selesai.
"Enggak usah, Fa. Pengantin baru mah duduk aja udah," sahut Ibu Asifah sambil tersenyum tipis. "Ada apa kamu ke sini? Suamimu mana?"
"Mau ke kamar mandi, Bu. Mas Afzal ada di kamar," jawab Haifa sambil berjalan menuju kamar mandi.
"Cie manggilnya mas," goda Aydan sambil menaik turunkan alisnya disetai senyum menyebalkan.
Haifa hanya balas mendengkus. Adik laki-lakinya itu memang paling menyebalkan. Setiap hari pasti ada saja tingkah ia yang berhasil membuat Haifa kesal. Kata Aydan, rasanya ada yang kurang jika satu hari saja tidak mengganggu kakak perempuanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan
RomanceMenikah dengan sahabat sendiri? Siapa sangka? Setelah hampir dua tahun tidak bertemu dan bertukar kabar, Haifa tiba-tiba kembali melihat wajah Afzal tepat ketika pria itu datang ke rumah bersama kedua orang tuanya untuk mengutarakan niat mengkhitbah...